Oleh: Agus Ismanto
Tak seperti biasanya, sholat Jum’at kali ini saya mendapatkan tempat di ruang utama -–karena kebetulan datang lebih awal— di Masjid Baiturrahim Perumahan Taman Cipayung, Depok. Ceramah yang disampaikan oleh khotib benar-benar saya ikuti secara seksama.
Adalah Ustadz Syaefudin Zuhri, ustadz yang sangat saya kenal di lingkungan masjid perumahan. Dengan intonasi suara yang kuat… agak mengganggu sedikit sih… karena ukuran ruangan yang tidak sebanding dengan suara yang dikeluarkannya.
Tapi tak apalah, yang penting saya dapat menikmati nasehat dari ustadz satu ini, yang menceritakan kisah Sahabat Sya’ban RA.
Kisahnya demikian… Saat itu, Junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW menunda sholat subuh berjamaahnya, karena menunggu kehadiran Sahabat Sya’ban. Namun yang ditunggu belum datang juga. Karena khawatir shalat subuh kesiangan, Rasulullah pun memutuskan untuk segera melaksanakan sholaht subuh berjamaah. Hingga shalat subuh selesai, Sahabat Sya’ban pun belum hadir juga. Rasul akhirnya menuju ke rumah Sya’ban, lewat cerita istrinya, ternyata Sahabat Sya’ban telah dipanggil Allah SWT.
Dengan kejadian tersebut muncul pertanyaan pada kita, seberapa pentingkah Sahabat Sya’ban ini bagi Rasulullah, sehingga harus menunggu beberapa waktu untuk menunaikan sholat subuh, demi menunggu kehadirannya?
Ternyata Sya’ban memiliki kelebihan, sebelum dirinya wafat diperlihatkannya ulang perjalanan hidupnya oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah.
Saat itu, Rasulullah SAW melantunkan Surah Qaaf ayat 22: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”
“Saat Sya’ban dalam keadaan sakaratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah SWT. Bukan hanya itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah. Apa yang dilihat oleh Sya’ban dan orang yang sakaratul maut, tidak bisa disaksikan yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu, Sya’ban melihat suatu adegan dimana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk shalat berjamah lima waktu. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki, tentu itu bukan jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkahnya ke masjid,” ujar Rasulullah.
Dia melihat seperti apa bentuk surga yang dijanjikan sebagai ganjarannya. Saat dia melihat dia berucap, “Aduh mengapa tidak lebih jauh.” Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih indah. Dalam penggalan kalimat berikutnya Sya’ban melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin.
Saat ia membuka pintu, berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang.
Ketika dalam perjalanan menuju masjid, dia menemukan seseorang yang terbaring yang kedinginan dalam kondisi mengenaskan. Sya’ban pun iba dan segera membukakan baju yang paling luar lalu dipakaikan kepada orang tersebut, kemudian dia memapahnya ke masjid agar dapat melakukan shalat Subuh bersama-sama.
Orang itupun selamat dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan shalat berjamaah. Sya’ban pun kemudian melihat indahnya surga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi, “Aduh!! Kenapa tidak yang baru.” Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala besar, sudah tentu dia akan mendapatkan yang lebih besar, jika dia memberikan pakaian yang baru.
Berikutnya, Sya’ban melihat lagi suatu adegan. Saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan terlebih dahulu ke dalam segelas susu. Ketika akan memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta sedikit roti karena sudah tiga hari perutnya tidak diisi makanan.
Melihat hal itu, Sya’ban merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti tersebut dengan ukuran sama besar dan membagi dua susu ke dalam gelas dengan ukuran yang sama rata, kemudan mereka makan bersama-sama. Allah SWT kemudain memperlihatkan Sya’ban dengan surga yang indah.
Ketika melihat itupun Sya’ban berteriak lagi, “Aduh kenapa tidak semua!!” Sya’ban kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut, pasti dia akan mendapat surga yang lebih indah. Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatanya melainkan menyesali mengapa tidak optimal.
Altruisme
Kisah Sahabat Sya’ban ini oleh masyarakat barat sering disebut sebagai sikap altruisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), altruisme merupakan paham atau sifat yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain, yang berarti kebalikan dari sikap egoisme.
Karena itu, memberikan sedekah kepada orang miskin sering dianggap sebagai tindakan altruistik dalam banyak budaya dan agama. Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika.
Istilah altruisme pertama kali diciptakan oleh filsuf Auguste Comte yang menunjuk pada orang yang memberikan perhatian pada orang lain, tanpa mementingkan dirinya sendiri. Istilah “altruisme” juga dapat merujuk pada suatu doktrin etis yang mengklaim bahwa individu-individu secara moral berkewajiban untuk dimanfaatkan bagi orang lain.
Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb).
Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner), sosiologi, biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tetapi metode dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme.
Berbagai penelitian terhadap altruisme tercetus terutama saat pembunuhan Kitty Genovese tahun 1964, yang ditikam selama setengah jam, dengan beberapa saksi pasif yang menahan diri tidak menolongnya.
Sikap altrusime banyak yang dilatarbelakangi oleh hukum emas (The Golden Rules) yakni: “Lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin orang lain lakukan padamu”. Atau, “Jangan lakukan pada orang lain, apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan pada kamu”.
Semantara psikolog dan filsuf Jerman, Eric Fromm dalam bukunya The Art of Loving menjelaskan bahwa soal cinta yang altruistik berarti cinta yang aktif bukan pasif. Sehingga jika kita mencintai tanaman, harus diikuti dengan tindakan menyiram tanaman.
Menurut Ericc From, ada 4 unsur cinta yang altruistik, yakni cinta yang mengandung unsur kepedulian (care), tanggung jawab (responsibility), respek (respect), dan pengenalan (knowledge).
Tentu saja, dari pelajaran sikap altruisme yang telah dijalankan oleh sahabat-sahabat Rasul, khususnya Sahabat Sya’ban RA, mengingatkan kita bahwa sesungguhnya pada suatu saat nanti, kita semua akan mati, butuh pengorbanan yang tanpa pamrih, sehingga tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Kepentingan kita dalam hidup ini, bukan sekadar untuk kepentingan diri kita sendiri, tetapi untuk membangun kebahagiaan bersama dengan makhluk yang lain. (*)
Depok, Jumat 10 Januari 2020 (Agus Ismanto, pemerhati dan penikmat kehidupan)