bidik.co — Siapa yang tak kenal Anita Roddick? Nama besar The Bodyshop yang berkibar megah di seluruh belahan penjuru dunia itu tidak menenggelamkan nama perempuan pemiliknya ini.
Mereka yang belanja di The Bodyshop sesungguhnya tidak sekadar membeli bedak, parfum atau pelbagai toilleteries yang dipajang di dalamnya, tetapi meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Anita Roddick benar-benar memenuhi sumpahnya untuk membuat produk yang berbasis penghargaan terhadap alam.
Tapi bukan itu yang menarik dari seorang Anita Roddick. Bukan pula gerai bisnisnya yang tersebar di seantero dunia, sehingga melambungkannya menjadi milyader.
Lalau apa?
Syahdan pada suatu hari Anita bersiap untuk melakukan regional meeting dengan para direktur The Bodyshop yang mewakili Asia Pacific.
Sebagaimana biasanya, ia sangat serius. Memeriksa agenda, dan sesekali menatap para direkturnya untuk mengenali mereka lebih dekat.
Takzim para direktur duduk di kursinya masing-masing. Suasana hening. Mereka hafal betul, sesaat lagi suara Anita akan menggema: “Good morning, ladies and gentlemen…”
Tinggal dalam hitungan detik rapat akan dibuka. Anita sendiri tampak bersiap membuka bibirnya. Tanpa terduga tiba-tiba pintu meeting room didorong oleh seseorang dari luar. Serentak semua mata menoleh ke sana. Setan mana yang berani lancang menginterupsi acara sepenting ini?
Semua yang hadir lebih kaget ketika mendapati bahwa yang melakukannya ternyata seorang anak kecil sekitar empat tahun.
Dua detik terdengar koor lenguhan dari semua yang hadir, lantas kembali senyap. Semua tegang menunggu dengan bergidik, murka macam apa yang akan terlontar dari Sang Mahadewi The Bodyshop itu.
Melihat siap yang menyelonong masuk, cepat Anita meletakkan berkas rapat dan berdiri. Ia hampiri anak itu. Semua orang menahan nafas di antara ketukan langkah cepat sepatu Anita.
Tiba-tiba, secepat kilat wanita termasyur itu meraih tubuh makhluk kecil itu. Dengan wajah berbinar ia angkat tubuhnya tinggi-tinggi, lalu dengan lantang ia berteriak kepada seluruh direkturnya.
“Sorry, Guys. She is my priority now!”
Kembali koor menggema, seakan teriakan lega orang-orang yang lepas dari himpitan beban.
Atas peristiwa Anita Roddick dengan cucunya tersebut, saya akan menyampaikan prosa-lirik yang mungkin dapat mengingatkan kita kepada anak-anak kita;
Kubisikkan kalimat adzan ke telingamu saat kau dilahirkan, agar kelak kau terjaga dari suara-suara dzalim/
Kusematkan nama terindah, agar kelak kepribadianmu berpendar cahaya keelokan/
Kulantunkan syair-syair keilahian, agar kelak kau mahir memilah kebajikan/
Kuajak berteriak ci-lu-ba, agar kelak kau tak kaget menyaksikan keganjilan ulah manusia/
Kujaga kau sepenuh jiwa, karena kau adalah amanat dari yang memiliki jiwa kita/
Namun anakku, tatkala kesibukan menderu dari depan beranda, kasih sayang memburai dari jendela belakang rumah kita/
Hari demi hari aku sibuk memburu bayang-bayang kemuliaan, di antara riuh rendahnya persaingan dan pertikaian/
Kebersamaan kita terpenggal oleh karier dan ambisi/
Kukayuh satu kewajiban, dengan melepas kewajiban lainnya/
Segala awal manis kehadiranmu kini meredup tinggal cerita/
Betapa lama kubiarkan kau sendirian/
Kusisakan ruang kecil dalam batin untukmu, lantaran begitu banyak hal lain yang kuanggap besar/
Kujawab sekenanya celoteh pertanyaanmu yang sarat keingintahuan/
Padahal kutahu benar bahwa jawabanku sangat berarti dan akan tersemat dalam kalbumu/
Mengapa harus menyorongmu ke baby sitter bila kau rewel, dan membelaimu hanya ketika kau tampil manis?/
Menghardikmu dengan kasar jika kau lambat mengenakan kaus kakimu?/
Menjejalimu dengan nasehat, yang hanya pantas untuk orang dewasa, yang bahkan aku sendiri tak pernah menjalankannya?/
Terbayang kembali wajahmu yang pucat menyaksikanku mengaum, lantaran robot dan boneka mainanmu mengotori meja kerjaku/
Dengan langkah tertatih kau seret kaki mungilmu, tanpa daya kau sembunyikan rasa takutmu di balik pintu/
Kau tak pernah protes, sekalipun tak pernah…
Mengapa tak kuraih tubuhmu rebah dalam pelukanku, anakku…dan kujelaskan takzim apa-apa yang ingin kau rekam dalam benakmu?/
Bukankah dalam keluhmu, aku harus sedekat urat nadimu…/
Kucoba menghitung detik demi detik, kapan gerangan aku sungguh-sungguh bersamamu/
Ya Rabbi…ternyata aku kikir memberimu cinta, sementara tuntutanku seluas samudera/
Kujebloskan kau ke sekolah mahal, agar gurunya mengambil peranku menyulapmu menjadi insan dambaan orang tua, nusa, dan bangsa/
Kucoba bersembunyi di balik alasan sibuk mencari nafkah-sesuatu yang aku agung-agungkan selama ini/
Namun, aku tak sanggup menatap cermin muka beningmu, anakku, karena di sana terpantul kerut-kerut hitamku/
Aku terkejut ketika mendapatimu sudah begitu besar/
Kau telah bisa berdebat dan menyodorkan pendapat yang masuk akal/
Tak ada lagi ’Winnie The Pooh’, ‘Simba’ atau ‘Kancil Nyolong Timun’/
Bibirmu begitu fasih mengikuti Peterpan dan lagu-lagu Rap/
Tawamu kini lepas terurai mendengar humor orang dewasa/
Aku terhenyak merasakan kisaran waktu yang memburu/
Menggebu hasrat ingin memelukmu, namun kau terlanjur besar untuk kupeluk/
Kuniatkan untuk kembali pulang kepadamu, anakku dengan segenap rasa bersalah/
Akan kucoba memilin kembali pertalian kita yang telah terburai/
Akan kubangun kembali peranku sebagai orang tua, betapapun karier mengharuskanku bergelimang dalam jelaga/
Telah kusiapkan sejuta kasih, tentang lebah dan rama-rama… tentang kebajikan, padang-padang hijau dan sungai-sungai susu yang mengalir di bawahnya/
Buah hatiku semoga engkau masih mau mendengarnya.
(Disunting dari buku Joko Santoso HP, “Jalan Tikus Menuju Kekuasaan”)