Agung Hidayat
(Pemerhati Pendidikan dan Etika)
Bidik.co — Sebenarnya saya bosan mendengar berita plagiarisme oleh akademisi. Kadang-kadang saya berpikir, sudahlah terima saja kenyataan ini. Plagiarisme adalah budaya bangsa.
Tapi, benarkah kita mau menerima kenyataan ini? Atau kita mau berbenah. Mari kita mulai.
Menulis sering kali dianggap sulit karena membutuhkan keterampilan dan kesabaran untuk mengembangkan ide menjadi karya yang tidak hanya bermutu, tapi juga bernyawa.
Seperti bermain sepakbola, ada dua jenis yang akan kesulitan memainkannya; (1) yang tak berbakat (2), dan yang tak pernah belajar.
Begitu juga dalam menulis. Bagi beberapa orang, menulis adalah tantangan yang membingungkan, apabila ia tidak berbakat dan tidak pernah belajar.
Membudayakan
Bayangkan, dalam sebuah ujian praktik olahraga di sekolah, semua murid, termasuk yang tidak berbakat dan tidak pernah belajar sepak bola, diminta untuk bermain dengan keterampilan yang mengesankan. Tentu saja, hasilnya tidak akan mengesankan sama sekali.
Namun, masalah tidak memiliki bakat atau tidak pernah belajar bukanlah halangan besar. Hal itu dapat diselesaikan tergantung pada kemauan dan tekad seseorang untuk belajar dan berkembang.
Namun, sayangnya, kita tidak selalu dapat mengharapkan kemauan itu tumbuh dengan sendirinya. Kadang-kadang, itu harus ditanamkan dan ditumbuhkan.
Dalam konteks sepak bola, seberapa jauh kita mau menjadikan sepak bola sebagai bagian dari budaya yang dapat dimainkan oleh seluruh murid sekolah?
Begitu juga dengan menulis. Jika kita menganggap menulis sebagai keterampilan penting, terutama dalam konteks akademis, mengapa tidak memperkuat budaya menulis sejak dini, di sekolah?
Dengan demikian, para murid akan memiliki pemahaman yang cukup tentang aturan dan standar penulisan yang baik ketika mereka menjadi mahasiswa. Mereka pun dapat diuji melalui tugas-tugas tulis seperti makalah, artikel, dan lainnya.
Seperti dalam sepak bola tadi, jangan berharap hasil ujian baik tanpa proses apa pun.
Dari ruang kosong
Tanpa pemahaman yang cukup tentang bagaimana membangun argumen yang kokoh, merumuskan ide-ide dengan jelas, atau mengutip sumber-sumber dengan benar, menulis dapat menjadi tantangan yang “menggemaskan”. Intinya, menulis jadi membingungkan jika kita berangkat dari pemahaman kosong.
Saya sering melihat tiba-tiba para mahasiswa diminta untuk menulis makalah atau artikel, padahal saya tahu mereka tak memiliki pemahaman yang cukup dalam penulisan. Sering kali hal itu membuat mereka cemas dan frustasi.
Akibatnya, beberapa orang terpaksa memanipulasi atau menyalin karya orang lain sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan tugas mereka. Maksudnya: Plagiat.
Meskipun itu bukanlah solusi yang baik, karena tidak hanya melanggar etika akademis, tetapi juga merusak nilai diri dan nilai pembelajaran yang sebenarnya. Tapi, apa boleh buat?
Oleh sebab itu, penting bagi pendidik dan lembaga pendidikan untuk memberikan pemahaman yang cukup tentang proses menulis dan memberikan bimbingan yang tepat kepada mahasiswa. Meskipun saya meyakini hal ini harus dilakukan sejak dini. Jauh sebelum mereka menjadi mahasiwa.
Dengan demikian, mereka akan memiliki keterampilan untuk mengekspresikan ide-ide mereka dengan baik melalui tulisan mereka sendiri, tanpa perlu melakukan plagiarisme.
Guru kencing berdiri
Kita coba membayangkan, mahasiswa yang gemar copypaste dan melakukan plagiarisme di masa kuliah, kemudian mereka menjadi dosen atau bahkan profesor di masa depan.
Dengan kondisi itu, tentu saja persoalan plagiarisme akan menjadi lingkaran setan yang tak ada habisnya, apabila diwariskan secara langsung atau tidak langsung.
Percayalah pada pepatah ini: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Seorang dosen atau profesor memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk etika akademis dan perilaku intelektual mahasiswa.
Sehingga jika mereka sendiri terlibat dalam praktik plagiarisme, itu akan memberikan sinyal warning kepada mahasiswa. Memberi legitimasi pada perilaku yang tidak etis, dan mengaburkan batasan antara kejujuran akademis dan kecurangan.
Lebih jauh, mahasiswa yang menjadi dosen atau profesor dan terus mempraktikkan plagiarisme akan menjadi bagian dari sistem yang menghalalkan perilaku tidak etis.
Padahal, etika sering dipakai sebagai standar menilai oleh para dosen. Bagaimana bisa begitu, mereka saja sebenarnya “pelaku ketidaketisan”.
Ini agak memprihatinkan. Para dosen sering kali menuntut standar “ini-itu”, yang mereka sendiri tidak sampai pada standar tersebut. Tapi, apakah mereka menyadari ini sebuah ketidakjujuran? Ketidakjujuran sejak dalam pikiran.
Bukan Candi Prambanan
Mahir dalam menulis bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dalam waktu satu malam. Seperti kisah Roro Jonggrang yang meminta Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Mahir menulis perlu proses berlapis.
Menjadi mahir dalam menulis melibatkan pemahaman tentang kebahasaan, kemampuan untuk merumuskan ide dengan jelas, dan keterampilan untuk menyampaikan pesan secara efektif kepada pembaca. Ini memerlukan latihan terus-menerus.
Selain itu, menulis juga melibatkan proses yang kompleks, mulai dari merencanakan dan mengorganisir ide, hingga mengedit dan menyempurnakan karya. Ini adalah proses yang membutuhkan waktu yang cukup. Bingung, kan, bacanya?
Makanya, saya bilang, kerampilan ini perlu dididik sejak di sekolah. Tidak bisa cuma dengan membaca tulisan ini saja. Perlu proses berulang.
Kita mungkin diajarkan dalam satu semester atau kurang ataupun lebih tentang penulisan karya ilmiah dan metodologi penelitian. Itu mungkin memberikan dasar-dasar yang penting dalam penulisan. Tapi, menjadi benar-benar mahir dalam menulis membutuhkan komitmen jangka panjang.
Sudahlah. Sudah saya katakan di atas. Kalau mau kemampuan menulis itu dimiliki oleh seluruh orang khususnya dalam konteks akademis. Maka, harus diajarkan sejak di sekolah.
Tapi, jangan pula yang mengajarnya tak tahu membedakan “di” dipisah dan “di” digabung. Sama saja kalau begitu. (*)