Justin Djogo
Bidik.co — Golongan Karya (Golkar) telah menancapkan hegemoni politik dan kekuasaan di tanah air sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto lebih dari 3 dekade (awal 1970-an sampai akhir 1997-an).
Kata hegemoni berasal dari kata Yunani Kuno, eugemonia yang lazim digunakan para sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa dalam hal ini berarti luas, bukan saja penguasa negara (baca: Pemerintah), melainkan dimaksudkan juga dominasi kelompok terhadap kelompok lain.
Meskipun Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964 sebagai reaksi untuk menentang rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun cakar politik Golkar baru benar-benar dirasakan di awal 1970an, ketika salah satu pendirinya Bapak Soeharto resmi menjadi Presiden setelah Pemilu 5 Juli 1971 yang dimenangkan Golongan Karya secara mutlak.
Sejak tahun 1971 inilah hegemoni kekuasaan dan politik Golongan Karya berlayar mengarungi Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Mengapa saya katakan hegemoni kekuasaan dan politik Golkar? Minimal dimulai dengan kritik mengenai penyelenggaraan pemilu 5 Juli 1971 yang dianggap penuh rekayasa dan bahkan ada yang menilai bahwa pesta demokrasi ini lebih sebagai pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat.
Alasannya memang logis untuk kritik ini, karena pemilu 5 Juli 1971 adalah memilih DPR dan DPRD, bukan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR.
Terlepas dari kritik terhadap pemilu 5 Juli 1971 yang dimenangkan Golkar secara mutlak, saya berpandangan bahwa momen ini merupakan tanda yang sangat tegas bahwa rejim bernama Orde Lama yang penuh bayang-bayang Bung Karno digantikan oleh Orde Baru dengan Sang Maestronya Pak Harto Bersama Golkar sebagai payung politiknya.
Hegemoni politik dan kekuasaan Golkar dan Pak Harto memang terbukti bertahan lebih dari 3 dekade. Setelah pemilu 5 Juli 1971, diikuti oleh 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat (baca: Golongan Karya), toh di pemilu berikutnya (1977,1982, 1987, 1992, dan 1997) sampai dengan tahun 1998, ketika Orde Baru jatuh dari singgasana, hanya PPP, Golkar dan PDI sebagai kontestan pemilu.
Meskipun ada cacat cela, Golkar telah tampil sebagai lokomotif politik bagi Pak Harto untuk menjalankan gerbong negara ini menuju Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Memang sangat terasa, dengan stabilitas politik dalam genggaman Golkar dan Soeharto, pembangunan dapat berjalan dengan baik meskipun ada riak dan gelombang protes di penghunjung hegemoni politik dan kekuasaan Orde Baru di akhir tahun 1998. Itulah dinamika kekuasaan dan hegemoni yang tak abadi. Datang dalam genggaman dan pergi dari pelukan.
Dari Hegemoni menuju Demokratisasi
Seiring ditinggalkan Pak Harto 1998, dimulai era baru bernama Era Reformasi dan Golkar pun dapat dikatakan kehilangan hegemoni politik dan kekuasaannya, ketika letupan demokrasi yang selama ini sunyi senyap namun mulai bergelora ketika BJ. Habibie meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Soeharto 21 Mei 1998.
Kecemerlangan BJ Habibie membongkar cengkraman hegemoni politik dan kekuasaan ala Orde Baru pelan tapi pasti memberi dampak sangat berarti. Tahanan politik dibebaskan, media massa tumbuh subur tanpa berpura-pura mengekspresikan karya jurnalistik mengeritik pemerintah, seperti menguak sisa-sisa KKN.
BJ Habibie sebagai salah satu tokoh harapan Pak Harto di masa depan, benar-benar bertindak dengan gayanya sendiri sebagai teknokrat, bukan sebagai politisi sejati.
BJ Habibie memberi warna baru juga bagi Golkar dan mendapat nama baru sebagai Partai Golkar dalam kotestasi pemilu pertama 7 Juni 1999 di Era Reformasi. Berdasarkan UU No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, maka parpol peserta pemilu berjumlah 48 parpol. Apa hasil pemilu pasca Orde Baru?
Golkar untuk pertama kali turun ke peringkat dua, diungguli PDI Perjuangan. Tidak apa-apa bagi Golkar, karena di pemilu berikutnya 5 April 2004, Partai Golkar bersama Akbar Tanjung sebagai nahkoda berhasil merebut kembali posisi pertama. Inilah dinamika demokrasi yang kita perjuangkan.
Meskipun dalam pemilu setelahnya dan sampai pemilu terakhir 2019, Golkar senantiasa mempertahankan status runner up. Prestasi ini tidak buruk. Itu berarti, setelah ditinggal Pak Harto pun, layar politik Golkar tetap terkembang seantero Nusantara dengan membawa api demokrasi sampai ke pelosok tanah air kita tercinta.
Terimakasih untuk para jurumudi Golkar, mulai dari Pak Jusuf Kalla, Pak Aburizal Bakrie, Pak Agung Laksono, Pak Setya Novanto, dan sampai saat ini Pak Airlangga Hartarto.
Tentu saja apresiasi untuk semua kader Partai Golkar di seluruh penjuru negeri. Mereka mampu memimpin dan menebarkan citra demokratis Partai Golkar sejak Era Reformasi ini, dengan caranya masing-masing sampai di usianya yang ke-56 tahun.
2024: Saatnya Golkar Memimpin
Semenjak BJ Habibie menjadi orang nomor satu di Era Reformasi, memang kader Golkar berhasil dua kali menjadi Wapres. Dialah Jusuf Kalla yang sukses menorehkan tinta emas dalam bio datanya dan bio data Golkar, sebagai wapres bagi dua presiden berbeda partai (SBY-Demokrat dan Jokowi-PDIP).
Mengukur kekuatan internal dan kalkulasi untuk berkolaborasi dengan parpol lain, rasanya akan ada kader Golkar menjadi satu dari dua pimpinan negeri ini. Presiden atau Wakil Presiden di 2024. Karena, Partai Golkar memiliki potensi untuk kembali menjadi nahkoda dalam membangun negeri tercinta, mulai 2024 nanti.
Selamat Ulang Tahun ke-56 Partai Golkar.
(Justin Djogo, Pemerhati Politik dan Kader Partai Golkar)