bidik.co — Kepopuleran batu akik kini semakin merajalela, berbagai daerah diyakini menjadi penghasil batu yang berkualitas dan mahal. Namun ternyata masih banyak yang belum tahu di kota Semarang ada batu khas dan konon katanya bisa menangkal guna-guna.
Batu akik itu sebenarnya bukan berasal dari bebatuan di kali atau pegunungan, namun diolah oleh pengrajin dari fosil pohon asam yang berusia ratusan tahun. Asal nama kota Semarang sendiri menurut legenda berasal dari kata asam dan arang sehingga batu itu disebut batu khas Semarang.
Slamet (41) warga Jl Tambra Dalam 2, Kelurahan Kuningan, Semarang Utara adalah salah satu pengrajin batu yang menemukan fosil tersebut dan membuatnya menjadi batu akik.
“Ini namanya batu Galih Asem, adanya ya hanya di Semarang,” kata Slamet di rumahnya, Sabtu (2/5/2015).
Meski dari fosil kayu, namun tingkat kepadatan dan kerasnya sama seperti batu pada umumnya. Warna coklat kayu menjadi warna yang khas, dan apabila diterangi dengan senter, maka sinarnya menembus batu dan memperlihatkan motif serabut seperti akar yang ada di dalamnya.
Harga Akik buatan Slamet ini di kalangan kolektor harganya bisa mencapai jutaan rupiah, namun Slamet menjualnya paling mahal sekitar Rp 300 ribu. Harga murah itu sengaja dibandrolnya agar peminat batu Galih Asem banyak dan bisa memperkenalkan batu itu ke masyarakat.
“Yang saya sayangkan di Semarang, masyarakat khususnya pemerintah daerah kurang memperhatikan. Padahal Semarang punya identitas luar biasa, Aceh punya giok, Purwokerto punya Klawing, Semarang ada ini,” terangnya.
Ayah tiga anak itu mengaku cukup sulit mendapatkan fosil pohon Asam itu. Selain lokasi di perbukitan, ia menjalani persyaratan mengelilingi 99 pemakaman di Semarang. Seorang diri dia menggali hingga kedalaman 12 meter untuk mendapatkannya.
“Dulu kan di Semarang di sekitar Jalan MT Haryono dan Pemuda banyak pohon asam, tahun 70-an ada penebangan besar-besaran diganti akasia, ini dibuang dan jadi fosil. Ini usia pohon kalau 200 tahun ada,” katanya tanpa memberitahu lokasi ditemukannya fosil pohon asam miliknya.
Selain Galih Asem, ada juga batu Galih Kelor yang mirip batu marmer. Dua batu khas Semarang itu bagi orang-orang yang percaya dengan mistik atau “energi” di dalam batu, dianggap bisa menangkal guna-guna seperti santet.
“Tidak usah dipakai, taruh di atas pintu saja kalau ada yang ‘menyerang’ pasti dilawan, ya semacam menangkal santet. Mistiknya memang bisa mengayomi keluarga,” ujarnya sambil sibuk menggosok batu di depan rumahnya.
Batu akik saat ini masih digandrungi masyarakat Indonesia. Efeknya cukup signifikan dirasakan oleh Slamet. Ia berharap batu Galih Asem dan Galih Kelor bisa diperkenalkan lebih luas ke wilayah Indonesia lainnya sehingga makin terkenal.
“Pak Wali (Wali Kota Semarang) pernah mampir ke sini pas ada acara di dekat sini. Beliau terkejut ternyata ada batu akik bagus khas Semarang. Sudah dipakai satu sama beliau,” tandas Slamet.
Salah satu kolektor batu yang datang ke rumah Slamet, Hedi Mulyono mengaku baru kali ini melihat fosil kayu diubah menjadi batu akik yang indah. Ia pun percaya ada “energi” di dalam batu tersebut.
“Galih Asem ini memang unik, motifnya kayak serat akar. Saya tadi lihat ini ada kodamnya, energinya bagus,” ujar Hedi.
Hampir tiap hari rumah Slamet didatangi pecinta batu akik, beberapa diantaranya adalah PNS yang berada di lingkungannya. Peminat Galih Asem perlahan mulai di kenal di daerah luar Semarang, namun Slamet ingin Galih Asem dikenal di daerah sendiri.
Sementara itu sebelumnya komunitas pecinta batu akik di Semarang, menggelar pameran batu akik dari 25 Februari hingga 1 Maret 2015. Pameran digelar di lantai dasar Mal Sri Ratu, Jalan Pemuda, Semarang, dan diikuti sebanyak 72 stan pengrajin yang memamerkan beragam batu alam asal Aceh hingga Papua.
“Ini pameran pertama yang digelar oleh komunitas pecinta batu akik di Semarang. Padahal di Jakarta dan Yogjakarta sudah menjadi agenda tahunan,” kata penggagas pameran batu akik, Markaban, di Sri Ratu, Semarang, Rabu (25/2/2015).
Menurut Markaban, untuk bisa menggelar pameran di Semarang para pengrajin dipungut uang sewa Rp 2 sampai Rp3,5 juta untuk mendirikan stan. “Harga bervariasi tergantung lokasi stan,” ungkap Markaban menambahkan.
Dari pantauan Okezone, ratusan pengunjung datang silih berganti mengunjungi stan yang berjejer dan sudah dibuka memamerkan bebatuan akik sejak pukul 10.00 WIB. Para pengrajin sendiri mematok harga yang bervariasi mulai dari Rp 1.000 hingga ratusan juta rupiah.
“Kalau yang seribu masih berbentuk kerikil kalau yang ratusan juta sudah berbentuk dan memiliki keistimewaan tersendiri,” ungkap Markaban.
Batu-batu akik yang dipamerkan sendiri ada yang sudah dibentuk menjadi batu cincin, potongan-potongan kecil batu, bahkan hingga yang masih berbentuk bongkahan batu besar dengan berat lebih dari satu kilogram.
Seorang pengrajin batu akik asal Aceh, Hendra menyatakan batu akik memang sedang menjadi tren di tanah air. Dia menyatakan tren batu akik akan berlangsung lama. “Karena batu-batu akik punya keistimewaan dan serat-serat yang khas,” terang Hendra. (*)