Opeknews.com — Pemerataan pendidikan yang berkualitas saat ini masih terus dikerjakan pemerintah. Hal ini untuk memberikan hak yang sama bagi setiap anak untuk mengenyam pendidikan bermutu, tanpa terpaku pada paradigma sekolah favorit. Namun di lapangan justru menunjukkan sekolah favorit menjadi incaran berbagai pihak, sehingga cita-cita untuk pemerataan pendidikan berkualitas sulit untuk diwujudkan.
”Kalau ada sekolah favorit dan tidak favorit, hal itu berarti memang kualitas pendidikan kita tidak merata dengan segala praktiknya. Karena di beberapa daerah, sekolah favorit bukan hanya menjadi incaran orangtua untuk sekolahkan anaknya, tetapi guru juga mengincarnya, berebutan untuk masuk sekolah favorit,” tutur Anggota MPR RI dari Fraksi Partai Geridra, Nuroji dalam Sosialisasi Hasil-hasil Keputusan MPR RI, di Depok, Selasa (23/1/2024).
Selanjutya Anggota DPR RI Komisi X yang membidangi pendidikan itu menjelaskan bahwa filosofi pendidikan klasik itu adalah menggabungkan atau mengkombinasikan yang pintar dan tidak pintar. Karena itulah, dalam satu kelas isinya harus ada siswa pintar dan tidak pintar. Oleh karena itu, pemerintah menerapkan kebijakan zonasi dan pemerintah daerah seharusnya membenahi fasilitas di sekolah yang tidak favorit.
“Dengan cara seperti itu, harapannya tidak ada lagi perbedaan yang sangat mencolok serta tidak ada lagi istilah sekolah favorit atau tidak. Tentu saja, sistem PPDB harus dijalankan agar tidak terjadi masalah. Jika dijalankan sesuai aturan akan berjalan dengan baik, misal PPDB jalur prestasi, afirmasi, zonasi dan lainnya,” harapnya.
Nuroji juga mengaitkan pemerataan kualitas pendidikan dengan anggaran pendidikan yang belum maksimal untuk pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan postur anggaran pendidikan dalam APBN 2023 yang belum memberikan perubahan yang signifikan bagi generasi bangsa Indonesia.
Sebab itu, dirinya bersama dengan Komisi X DPR RI akan mengevaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya, terkait infrastruktur sekolah dan sistem zonasi.
“Kita sayangkan, di negeri kita sendiri pemerataan pendidikan masih menjadi permasalahan, karena memang kebijakannya belum mengakomodir berbagai pihak. Jika ada masalah infrastruktur, sebenarnya bisa diintervensi dengan anggaran. Jangan hanya mengandalkan sekolah yang sudah hebat,” jelas Nuroji.
Anggota dewan dari Daerah Pemilihan Depok dan Bekasi ini juga menjelaskan, APBN tahun 2023 untuk sektor pendidikan dialokasikan sebesar Rp612,2 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek menggunakan untuk belanja sebesar Rp237,1 triliun.
“Anggaran tersebut digunakan untuk Program Indonesia Pintar (PIP) kepada 20,1 juta siswa, juga Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah kepada 994,3 ribu mahasiswa. Selain itu, ada tunjangan profesi guru untuk 553,5 ribu guru nonPNS,” jelasnya.
Sementara itu, alokasi transfer daerah Rp305,6 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada 43,7 juta siswa, ada juga Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kepada 6,2 juta siswa, dan BOP Pendidikan kesetaraan untuk 806 ribu peserta didik. Sisanya, Rp69,5 triliun untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan.
“Ke depannya, kami ingin marwah pendidikan harus dikembalikan kepada Undang-Undang Dasar Kita seperti pada Pasal 28C yaitu setiap warga negara memiliki hak untuk mengembangkan diri dan mendapatkan pendidikan,” tandas Nuroji. (is/ir)