bidik.co – Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa masalah Undang-Undang Pilkada yang oleh sebagian kecil LSM dinilai menjadi kemunduran demokrasi di Indonesia ini, justru bisa dibagikan untuk menjadi informasi dalam Forum Demokrasi di Bali atau Bali Democracy Forum (BDF).
Justru, kata dia, masalah UU Pilkada ini jangan sampai Indonesia mengucilkan diri dalam forum demokrasi ini.
“Justru dengan adanya tantangan, memerlukan bukan untuk mengucilkan diri justru harus menjangkau merangkul masyarakat internasional untuk membangun padangan yang sama untuk membangun demokrasi,” kata Marty di Nusa Dua, Bali, Kamis 9 Oktober 2014.
Menurut dia, demokrasi adalah suatu proses suatu negara. Sehingga demokrasi itu pasti ada pasang surutnya.
“Bukankah demokrasi itu adalah suatu proses, bukan suatu kejadian semata. Proses itu tentu akan ada pasang surutnya dan saya kira saat ini kita sedang melalui tahapan bagaimana pelaksanaan pilkada justru memberikan bahan untuk kita tukar pandangan,” ujar dia.
Menurut dia, sebagai negara perintis BDF ini, bukan berarti Indonesia mengklaim diri sebagai negara yang memiliki demokrasi yang sempurna. Sebab, tidak ada satu titik di mana negara menyatakan demokrasinya sudah sempurna. Kemudian, bisa berkiprah ke luar negeri.
“Karena kondisi di dalam dan LN dalam era globalisasi ini saling terkait kita menungu semua sudah baik, baru kita ke luar,” kata dia.
Selanjutnya Marty menjelaskan, beberapa organisasi kemasyarakatan sipil menolak untuk hadir dan berbicara dalam forum Bali Civil Society Forum 2014. Itu adalah rangkaian dari Bali Democracy Forum (BDF) 2014. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan sangat menghormati aksi protes itu.
Apalagi, kata dia, tak ada kewajiban para organisasi kemasyarakatan itu untuk menghadiri acara tersebut. “Namanya juga Bali Democracy Forum jadi setiap individu, organisasi memiliki pilihan apakah akan datang atau tidak,” kata Marty.
Menurut Marty, aksi seperti ini bukan kali pertama yang dia hadapi. Misalnya saja, saat Indonesia merintis pembahasan tentang komunitas politik keamanan ASEAN, di mana masalah hak asasi manusia dan politik keamanan menjadi tema. Pada saat itu, banyak LSM yang mempertanyakan bahwa Indonesia demokrasinya masih belum matang, tetapi repot-repot bicara tentang politik luar negeri.
“Tetapi itu kan harus berjalan secara beriringan, tidak bisa kita menunggu (hingga demokrasi matang),” ujar dia.
Selain itu, aksi protes juga terjadi pada saat pemerintah Indonesia berinteraksi dengan Myanmar. Sebab, jika itu terjadi, maka Indonesia dianggap melakukan pembenaran terhadap apa yang terjadi di Myanmar.
“Tetapi kita kan mengatakan bahwa kita bisa mempengaruhi suatu situasi kalau kita berdialog dan komunikasi. Sama seperti di BDF ini setiap lembaga berhak menyampaikan pendapatnya,” kata dia.
Menurutnya, jika terjadi dinamika di dalam negeri, justru harus didiskusikan dengan negara-negara lain. Hal ini agar Indonesia mendapat dorongan, dan berbagi pengalaman mengenai berbagai tantangan.
Sebelas organisasi masyarakat (ormas) menolak hadir dalam Forum Demokrasi Bali (BDF) VII di Nusa Dua, Bali, pada 10-11 Oktober antara lain; LBH Jakarta, Yappika, PSHK, KontraS, Migrant Care, ICW, Perludem, Transparency International Indonesia, JPPR, Elsam dan Fitra.
Mereka menilai forum yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia itu tidak lebih dari acara seremonial tanpa manfaat berarti untuk perkembangan demokrasi.
“Kami diundang untuk menghadiri Forum Masyarakat Sipil Bali (BCSF), acara pembuka dan tidak terkait langsung dengan BDF yang merupakan forum tingkat tinggi bagi para kepala negara,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini Mashudi, Kamis (9/10/2014). (ai)