bidik.co – Dikeluarkannya dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Presiden SBY dinilai publik sebagai pencitraan semata. Pasalnya, Fraksi Partai Demokrat telah menyia-nyiakan kesempatan untuk mendukung Pilkada langsung pada saat Sidang Paripurna yang pada saat itu suara anggota Demokrat merupakan suara terbanyak dalam parlemen.
Politisi Partai Demokrat Saan Mustofa mengungkapkan bahwa Perppu yang dikeluarkan SBY tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk pencitraan SBY. Perppu tersebut dikeluarkan karena menyangkut tiga tujuan utama.
“Pertama untuk menyelamatkan nilai-nilai demokrasi dan yang kedua adalah menyelamatkan daulat rakyat. Ketiga, Perppu itu dimaksudkan untuk menyelamatkan suara rakyat dan politik rakyat,” ujar Saan, Sabtu (4/10/2014).
Menurut Saan, nilai-nilai ini terancam ketika UU Pilkada melalui DPRD disetujui oleh sebagian besar anggota DPR pada saat itu. Oleh karena itu SBY merasa harus mengeluarkan Perppu untuk mementalkan UU Pilkada yang telah disetujui tersebut.
“Berdasarkan itu, Presiden keluarkan Perppu sesuai dengan yang disyaratkan UUD dan juga berdasarkan kebutuhan nyata dan mendesak yang harus segera ditangani secara cepat dan mendesak,” paparnya.
Saan menjelaskan bahwa keluarnya Fraksi Partai Demokrat dari Sidang Paripurna UU Pilkada kemarin karena Demokrat tidak merasa mendapat dukungan sama sekali dari fraksi partai lain.
“Dalam proses perjalanan dari panja hingga ke paripurna respon yang diberikan itu kurang bahkan itu memang tidak ada dukungan, ini yg membuat kita keluar. Dan sebagai solusi terhadap kebuntuan ini dengan menyelamatkan nilai-nilai tadi, itu yang menurut saya Perppu ini segera untuk dikeluarkan,” terang Saan.
Namun, yang menjadi persoalan Demokrat saat ini adalah membuat Perppu yang dikeluarkan SBY tersebut dapat disetujui oleh DPR saat ini, dimana Demokrat hanya memiliki 61 suara dalam parlemen. “Nah persoalannya bagaimana Perppu ini nanti disetujui oleh DPR. Itu yang jadi pekerjaan politik selanjutnya,” pungkas Saan.
Seperti diberitakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada), Kamis (2/10/2014). Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui RUU Pilkada pada 26 September 2014.
Namun, pengesahan RUU ini menimbulkan polemik karena bertentangan dengan keinginan masyarakat yang menghendaki pemilihan secara langsung. Sementara itu, ketentuan RUU Pilkada mengubah mekanisme pemilihan menjadi tidak langsung, yaitu melalui DPRD.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, Presiden menghendaki pelaksanaan pilkada yang lebih baik dari sebelumnya. Isi Perppu yang ditandatangani Presiden, kata dia, menjawab kritik dan masukan dari berbagai pihak terkait penyelenggaraan pilkada langsung.
“Presiden SBY menghendaki agar pelaksanaan pilkada ke depan lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, substansi Perppu 1/2014 adalah jawaban atas kritik, masukan, dan hasil evaluasi yang selama ini banyak disuarakan berbagai pihak,” ujar Denny, Jumat (3/9/2014) pagi.
Sejak awal pembahasan, menurut Denny, Presiden menginginkan pelaksanaan pilkada secara langsung dengan sejumlah perbaikan.
Berikut garis besar isi Perppu yang diterbitkan Presiden.
1. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);
2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);
3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);
4. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan (Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) huruf c, d, e, dan f, serta ayat (2), dan Pasal 200);
5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal (Pasal 69);
6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76);
7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);
8. Larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68 huruf c);
9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan pilkada tidak netral (Pasal 70);
10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca-pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);
11. Pengaturan yang jelas, akuntabel, dan tranparan terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);
12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);
13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1);
14. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);
15. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);
16. Larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));
17. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila memengaruhi hasil penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikan (Pasal 156 ayat (2).
Denny mengatakan, agar regulasinya tidak saling bertentangan, Presiden juga menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu Pemda).
Isi Perppu tersebut intinya berisi dua hal, yaitu pertama, menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 1).
Kedua, menghapus tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota dan/atau wakil bupati/wakil wali kota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian (Pasal I angka 2). (if)