Bidik.co — Meroketnya harga bahan-bahan pokok dan bahan bakar minyak berpotensi memicu inflasi double digit. Jika sampai terjadi inflasi double digit, meski Pemerintahan Jokowi menandatangani Keppres Pemilu, kemudian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dipecat, pun tetep rentan.
“Inflasi double digit jika terjadi, meski Pemerintahan Jokowi menandatangani Keppres Pemilu, kemudian Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dipecat pun tetap rentan,” tutur pengamat ekonomi dari Forum Dialog Nusantara (FDN) Adi Wicaksosno kepada Bidik.co, Senin (18/4/2022).
Adi selanjutnya mengingatkan pengalaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalami inflasi masih di bawah 10% pun sudah mengalami guncangan yang cukup keras dengan upaya pemakzulannya.
“Pengalaman masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalami inflasi 8% saja, isu pemakzulannya lumayan santer, padahal gak ada isu 3 periode waktu itu,” bandingnya.
Selanjutnya Adi menjelaskan konsekuensi dari inflasi dua digit dari pengalaman historis pemerintahan di Indonesia. Seperti Presiden Pertama RI Soekarno dan Presiden Kedua RI Soeharto. Soeharto turun karena krisis Rupiah, Soekarno turun karena krisis inflasi ratusan persen.
“Kalau kita lihat sejarah, turunnya pemimpin otoriter lebih banyak dipicu dimensi ekonomi. Pak Harto karena krisis rupiah, Pak Soekarno karena krisis inflasi ratusan persen. Rakyat menjerit lapar soalnya!” tandasnya.
Dicontohkan, terjadinya kerusuhan yang parah di negara Sri Lanka, yang disusul dengan pengunduran diri para menterinya. “Contoh kongkritnya yang sekarang sedang terjadi di Sri Lanka, terjadinya kerusuhan parah, menteri-menterinya pada mengundurkan diri. Negara sampai default gak bayar utang tahun ini,” paparnya.
Terkait dengan penyebab terjadinya inflasi double digit, dijelaskan, ada 3 jenis inflasi, pertama inflasi inti yang terkait dengan nilai rupiah, kedua administered price terkait dengan bahan bakar minya atau BBM dan listrik, kemudian ketiga volatile terkait denga sembako.
“Ada 3 jenis inflasi, pertama inflasi inti yang terkait dengan nilai rupiah, kedua administered price terkait dengan bahan bakar minyak atau BBM dan listrik, kemudian ketiga volatile terkait denga sembako. Nah kalau tiga jenis inflasi ini naik bersamaan, maka inflasi umumnya bisa melonjak drastis, bisa dua digit,” paparnya mengingatkan.
Ketika ditanya, apakah sekarang sudah terjadi inflasi 3 jenis secara berarengan? “Belum! Masih diselamatkan sama inflasi inti. Rupiah masih stabil, tapi tahun depam Rupiah ada risiko rontok. Karena Amerika Serikat sudah mulai tapering atau normalisasi suku bunga. Akhir tahun ini atau tahun depan ada potensi tiga jenis inflasi itu naik bersamaan. Apalagi kalau perang Rusia-Ukraina masih lanjut. Kemungkinan terjadinya besar,” jelasnya.
Terkait hubungannya inflasi dengan tapering Amerika Serikat dan perang Rusia-Ukraina, Adi menjelaskan bahwa tapering Amerika Serikat korelasinya dengan finansial global yang tentunya akan mempengaruhi nilai Rupiah. Sedangkan perang Rusia-Ukraina korelasinya dengan harga komoditas berupa BBM, listrik, dan sembako.
“Ketika Amerika Serikat tapering, dana-dana investasi yang ada di negara berkembang macam Indonesia pada balik kembali ke Amerika Serikat, karena suku bunga di Amerika Serikat menarik. Efeknya dollar di Indonesia langka dan harganya jadi mahal, terus Rupiah melemah, jadilah inflasi inti naik,” pungkasnya. (is/ad)