bidik.co — Pendidikan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Hak ini diakui secara nasional, pun internasional. Status ekonomi dan pekerjaan tidak menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Darwati, lulus dengan IPK 3,68 dari jurusan Administrasi Niaga Universitas 17 Agustus (Untag), Semarang. Prestasi anaknya itu, hadiah luar biasa untuk pasangan suami istri Sumijan dan Jasmi yang bekerja sebagai petani.
Menjadi pembantu rumah tangga, Darwati (23) berhasil membuktikan bahwa status pekerjaannya sama sekali bukan halangan untuk berprestasi di dunia pendidikan. Tak tanggung-tanggung, Darwati menyabet gelar cumlaude atau predikat tertinggi dalam ujian di perguruan tinggi.
Darnila diwisuda pada Kamis (21/5/2015) dan layak menyandang gelar sarjana administrasi niaga Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang.
Upaya dara asal Desa Gunungan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah untuk bisa meraih gelar sarjana dengan predikat cumlaude ini penuh onak dan duri. Darwati yang sudah menjalani pekerjaan sebagai PRT sejak Agustus 2010.
Kisah hidupnya bermula ketika dirinya lulus SMA Muhammadiyah 5 Todanan. Tak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah, tekad Darwati untuk mengecap pendidikan di perguruan tinggi harus tertunda.
“Memang sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) saya ingin kuliah, namun terhambat biaya. Makanya, saya memilih bekerja dulu,” kata gadis kelahiran 20 Februari 1992 itu, di Semarang, Kamis (21/5/2015), di sela mengikuti prosesi wisuda di Kompleks Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang.
Darwati pun sempat mencoba peruntungan ke Jakarta. Namun, dirinya hanya mampu bertahan seminggu untuk kemudian kembali ke kampung halamannya. Masih belum memiliki pekerjaan yang layak, Darwati pun ikut orang berjualan es campur selama 3 minggu.
“Setelah itu, saya sempat ikut kerja berjualan es campur di kampung. Ya, kira-kira tiga minggu saya kerja di sana, namun belum sempat gajian karena saya keburu pindah kerja,” katanya.
Dia mengakui pemilik usaha es campur itu sebenarnya baik dan tidak merelakan dirinya pindah, namun sudah ada tawaran bekerja sebagai PRT di keluarga drg Lely Atasti Bachrudin, di Grobogan.
Meski sudah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di lingkungan keluarga berpendidikan, Darwati masih belum terbayang akan bisa meneruskan pendidikan sampai sarjana.
“Suatu waktu, saya ‘nggremeng’ (bergumam) ingin kuliah. Mungkin didengar sama Bapak (majikan). Beberapa hari setelah itu, Bapak tiba-tiba bilang saya boleh ‘nyambi’ kuliah,” ungkapnya.
Keinginan Darwati untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi didukung oleh sang ayah. Darwati mengatakan, majikannya kala itu mengatakan jika ayahnya dari desa baru saja menemui sang majikan dan menyampaikan keinginan Darwati berkuliah. Tak disangka, majikannya ternyata mengizinkan.
“Saya langsung semangat mencari informasi perguruan tinggi sampai akhirnya memilih di Semarang. Saya sisihkan sebagian gaji. Ternyata, bapak saya tidak pernah menemui beliau (majikan),” kenangnya.
Untuk berangkat kuliah, Darwati harus menempuh jarak sekitar 50 kilometer menumpang bus, meski terkadang menumpang kawannya yang kebetulan berasal dari Grobogan.
“Kadang, saya diminta menemani anaknya Bapak (majikan) yang tinggal di Semarang. Jadi, sekalian menginap di sini. Ya, begitu. Saya ke Semarang, ya, kalau ada jadwal kuliah,” katanya.
Selama menjalani kuliah, dia mengaku kerap diejek kawannya lantaran pekerjaannya sebagai PRT. Meski demikian, Darwati tetap menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswa dan menjadikan ejekan tersebut sebagai pendorong semangatnya membuktikan kemampuannya.
Darwati pun membiayai kuliahnya dari gaji yang diterimanya sebagai PRT. “Yang mengejek, ya, pasti ada, namun saya anggap angin lalu. Untuk dana, saya sisihkan uang gaji, kadang saya pinjam teman, kadang juga diberi uang saku sama Bapak (majikan),” katanya.
Kini, Darwati berhasil mewujudkan mimpinya meraih gelar sarjana dan menjadi kebanggaan kedua orang tuanya, bahkan sanggup meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,68 atau cumlaude.
Dengan hasil yang maksimal itu, Darwati ingin mencari pekerjaan yang lebih baik dan berhenti jadi pembantu. “Masih cari-cari kerjaan yang lebih baik,” katanya.
Sebagai anak buruh petani, Darwati mengaku prestasi yang didapat saat ini telah menaikkan harkat dan martabat keluarganya. Terutama kedua orangtuanya yang saat ini dalam kondisi ekonomi pas-pasan.
“Saya mau angkat derajat kedua orangtua saya yang sampai sekarang dengan kondisi kemiskinan dipandang rendah oleh orang lain,” paparnya.
Darwati berterima kasih dengan majikannya di Purwodadai, Drg Lely, yang punya andil besar atas pencapaiannya saat ini. Berkat Lely, dia bisa sekolah tinggi meski hanya seorang PRT. Dia pun dipersilakan mencari pekerjaan yang lebih baik.
“Kalau majikan saya setuju (cari kerja). Bahkan mendorong saya untuk mencari pekerjaan lain yang lebih baik tanpa harus melupakan sejarah yang pernah saya lewati dengan majikan saya itu,” ungkapnya. (*)