Judul Buku : Revolusi Dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya kepada Rakyat
Pengarang : Dr. Yansen TP., M.Si
Editor : Doddy Mawardi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia)
Cetakan : I, Tahun 2014
Tebal Buku : xxviii + 180 Halaman
bidik.co — Profesor dalam bidang Sistem Pemerintahan dan Otonomi Daerah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. Dr. Sadu Wasistiono, M. Si. mengatakan, “Gejala pemerintahan mirip dengan gejala manajemen, yakni dapat dilihat sebagai pengetahuan (knowledge) sekaligus kemahiran (know-how). Tulisan mengenai manajemen yang berkualitas dan terkenal, umumnya disusun oleh praktisi manajemen yang menguasai ilmu manajemen, sehingga di dalam menganalisa selalu ada kotak studi kasus yang berkaitan dengan topik yang sedang dibahas.”
Pernyataan Sadu Wasistiono tersebut terurai dalam kata pengantar dari buku yang ditulis Dr. Yansen TP, M.Si, Bupati Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, “Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat”.
Karena itu tak heran, banyak praktisi pemerintahan di negeri ini yang termasuk piawai dalam mengelola daerahnya dan berdampak kepada warganya yang hidup sejahtera. Dengan begitu, daerahnya bisa terpacu untuk maju bersaing dengan daerah lain. Tapi tidak banyak di antara mereka itu, termasuk pejabat bupati, yang menyempatkan diri untuk menuangkan buah pikiran dan pengalaman keberhasilannya mengelola daerah dalam bentuk buku.
Tentu saja Buku Yansen ini akan segera menjadi “virus” yang mewabah ke daerah-daerah. Orang seperti tersentak, ada seorang bupati dari desa di Kalimantan Utara yang membawa gagasannya ke Jakarta untuk disampaikan secara nasional. Meski dalam bentuk namun menjadi sesuatu yang langka.
Bupati Yansen, menurut Sadu, merupakan birokrat ilmuwan dan ilmuwan birokrat. Yansen dianggap memiliki pengalam panjang dalam dunia praktik pemerintahan, diawali sebagai praktisi di daerah-daerah terpencil. Sambil bekerja, Yansen terus mengasah ilmu sehingga mencapai gelar akademik tertinggi. Setelah terpilih sebagai Bupati Malinau, Provinsi Kalimantan Utara, hasrat untuk mengembangkan wawasan keilmuannya tidak pernah terhenti. Salah satu wujudnya adalah terbitnya buku berjudul “Revolusi dari Desa” yang tengah kita perbincangkan ini.
Pembangunan berbasis pedesaan, bagi Yansen, sangat penting dan aktual. Karena itulah topik yang diambil dalam penyusunan bukunya. Apalagi bersamaan dengan ramainya pembahasan rancangan undang-undang tentang desa yang kontroversial. Terlebih lagi karena memang ada pertarungan gagasan yang sangat keras antara pihak pemerintah dengan pihak DPR RI, termasuk kontroversial di kalangan internal anggota dewan di Senayan. Lahirlah kemudian UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang di dalamnya menggunakan konstruksi gabungan antara desa yang berkedudukan dan berfungsi sebagai self-governing community dengan desa yang berkedudukan dan berfungsi sebagai local self-government.
Bupati Yansen menawarkan gagasan agar pembangunan sebaiknya dimulai dari bawah, sejalan dengan gagasan yang termuat dalam UU Nomor 61 Tahun 2014. Melalui UU ini, ada keinginan politik agar desa apat kembali menjadi komunitas yang mampu membangun wilayah dan penduduknya seperti pada masa lalu. (Kata Pengantar Dadu Wasistiono, hal.xiii).
Tak heran bila gubernur pertama Jawa Barat, Soetardjo Kartohadikoesoemo mengibaratkan desa adalah “republik kecil” yang dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri. Kedudukan dan peran ini dihancurkan pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah juncto UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dalam mengelola pemerintahan di daerahnya, Yansen sendiri menerapkan program yang disebutnya Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Ini sempat mengejutkan saat peluncuran buku “Revolusi dari Desa” di Jakarta. Tamu yang hadir, mengomentari dengan merespon berupa ungkapan nada positif bahwa ini sesuatu yang langka dan luar biasa. Sebab selama ini baru ada “Gerakan Membangun Desa” yang terkesan top down, bukan button up seperti yang dilakukan Yansen, yakni dari desalah pembangunan itu dimulai.
“Implementasi dari Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) ini sebagai sebuah model, memerlukan mekanisme proses pelaksanaan yang mudah untuk dipahami. Mulai dari tahap perencanaan, pembiayaan, pengawasan, evaluasi, pertanggungjawaban, indikator kinerja, hingga capaian keberhasilannya,” kata Yansen.
Karena itu, di tangan Yansenlah masyarakat Kabupaten Malinau bersama seluruh elemennya, serta jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan stakeholders di daerah, harus menyadari bahwa paradigma Pemerintahan Kabupaten Malinau telah berubah sesuai prinsip dan semangat GERDEMA. Yakni bertumpu pada kekuatan rakyat, bertumbuhnya gerakan masyarakat yang lahir dari masyarakat desa. Tanpa harapan dan kehendak yang diformuasikan, maka tidak akan terjadi suatu gerakan (hal. 114).
Adapun nilai capaian dari GERDEMA ini, Yansen mencatat ada 13 nilai ideal yang harus dicapai sebagai perwujudan keberhasilan dari konsep tersebut (hal.136). Masing-masing: Pertama, tumbuh dinamisnya partisipasi masyarakat yang tulus, bersih dan berkomitmen dalam proses penyelenggaraan pemerintah desa. Kedua, tumbuh dan berkembangnya demokrasi di desa. Ketiga, tumbuh dinamisnya kepemimpinan di desa. Keempat, terwujudnya transparansi di desa. Kelima, terwujudnya efisiensi di desa.
Keenam, terwujudnya efektivitas di desa. Ketujuh, terbangunnya budaya swadaya di desa.Kedelapan, tumbuhnya prinsip pemberdayaan di desa. Kesembilan, terbangunnya budaya dan perilaku keberpihakann kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu secara sosial dan ekonomi.
Kesepuluh, bertumbuhnya budaya dan perilaku inovatif di desa. Kesebelas, bertumbuhnya sektor produksi di desa. Keduabelas, terbangunnya perilaku bertanggungjawab dari para pemangku kepentingan dan masyarakat desa. Ketigabelas, terwujudnya prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa.
Tentu saja keberhasilan selalu menjadi kebanggaan setiap individu atau kelompok atas segala sesuatu yang telah sukses dilakukan. Demikian pula halnya penyelenggaraan GERDEMA sebagai sebuah model pembangunan yang implementatif, konkret, dan berpihak kepada rakyat. Secara konsisten, Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau menjalankan program ini sejak tahun 2012 hingga sekarang. Dalam menjalankan model ini, Malinau terutama Bupati Yansen, cukup menghadapi bnyak tantangan.
Pelaksanaan GERDEMA pun menghadapi situasi kemapanan, perilaku mental, budaya dan mindset yang lama, seperti suka dilayani, suka dihormati, suka berkuasa (feodal) dari jajaran pemerintahan (para teknokrat), demikian juga sikap mau menang sendiri (ego sektoral). “Dari berbagai pihak, muncul sikap yang sinis dan menganggap perubahan sebagai kesia-siaan. Sebagian bahkan cenderung menolak dan bersikap menentang perubahan paradigma pemerintahan dan pembangunan tersebut,” kata Yansen.
Sementara itu bila dikaji lebih mendalam, menurut Yansen, sudah sangat jelas, sebuah kemajuan tanpa perubahan yang hakiki adalah suatu kebohongan, tambah Yansen. GERDEMA sendiri menuntut suatu perubahan tidak hanya pada dimensi visi, tetapi juga perubahan yang hakiki pada perilaku, budaya, dan pola pikir.
Itu sebabnya dalam tantanan pemerintahan, menurut Yansen, perubahan tidak hanya terjadi pada tingkat pemerintahan desa dan kecamatan, tetapi juga perubahan mendasar pada lingkungan strategis pemerintahan daerah kabupaten. Yaitu bupati dan wakil bupati, DPRD, SKPD, dan berbagai institusi kelembagaan daerah.
Secara umum buku ini sangat bermanfaat bagi praktisi pemerintahan terutama kalangan PNS. Bukunya dikemas dengan baik dan cenderung mewah. Hanya satu kekurangannya karena ditulis dengan “bahasa kampus” sehingga cenderung menjadi bacaan berat.
Memang saat membaca judul buku ini, secara reflek seolah-olah kita didorong tertarik untuk mencoba mendalami bab per bab dan mencari tahu apa makna penggunaan kata “revolusi” yang dituliskan sebagai judul. Apakah yang dimaksud adalah bentuk perlawanan rakyat karena dimulai dari desa ataukah ini hanya sekedar konsep yang menggunakan kata “revolusi” agar memancing rasa ingin tahu khalayak ramai yang kemudian membaca dan akhirnya menerapkan konsep itu. Rangkaian bab per bab dalam buku ini ternyata sanggup menjelaskan penggunaan kata “revolusi” tersebut.
Buku ini terdiri dari tujuh bab dengan rentetan halaman bab demi bab yang cukup berimbang antara satu bab dengan bab yang lainnya. Tentu saja, alangkah lebih baik sebelum membaca bab per bab, kita kunyah dulu beberapa bagian yang dikemas dalam bentuk testimoni, kata pengantar, serta prolog. Untuk testimoni walau terlalu panjang – khususnya pada bagian testimoni sang motivator – bagian ini cukup memberikan gambaran seperti apa sebelum dan sesudah penerapan GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) di Kabupaten Malinau.
Seandainya mengunakan bahasa yang populer, tentu membacanya lebih ringan dan santai. Hal ini bisa dimaklumi sebab buku ini merupakan hasil kajian doktoral dari Yansen yang kemudian dipraktikkan di Malinau. Buku ilmiahnya terasa kental dengan adanya bagian-bagian, bab dan sub bab, seperti membaca buku wajib bagi mahasiswa di perguruan tinggi. (*)