bidik.co — Komisi Yudisial (KY) meminta hakim Teguh Satya Bhakti mengundurkan diri sebagai ketua majelis kasus sengketa Partai Golkar. Sebab, Teguh pernah ‘dibantu’ oleh Yusril Ihza Mahendra, pengacara Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie.
“Mestinya hakim Teguh mengundurkan diri karena berpotensi adanya konflik kepentingan,” kata komisioner KY, Imam Anshori Saleh kepada wartawan, Selasa (21/4/2015).
‘Bantuan’ yang dimaksudkan yaitu saat Yusril menjadi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) atas permintaan Teguh pada 2012 lalu. Saat itu Teguh menggugat ke MA karena sebagai pejabat negara, kesejahteraannya tidak diperhatikan. Dalam sidang, Yusril mendukung permohonan Teguh karena norma yang diuji memang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Permohonan Teguh lalu dikabulkan MK.
Tiga tahun berlalu, kini Teguh berhadap-hadapan dengan Yusril di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kali ini posisinya Teguh menjadi ketua majelis, sedangkan Yusril menjadi kuasa hukum kepengurusan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie.
“Lebih terhormat dia mengundurkan diri agar kelak putusannya pun tidak diragukan,” ujar Imam.
Berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), hakim haruslah berperilaku berintegritas tinggi, bermakna memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa dan tidak tergoyahkan. Pasal 9 poin 5 huruf a menyebutkan:
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.
“Jadi hakim Teguh akan lebih terhormat (jika mengundurkan diri) dan tidak menimbulkan prasangka buruk,” pungkas Imam.
Seperti diketahui, berdasarkan putusan MK Nomor 37/PUU-X/2012, saat itu Teguh masih sebagai hakim PTUN Semarang. Ia menggugat UU PTUN, UU Peradilan Umum dan UU Peradilan Agama ke MK karena sebagai hakim, kesejahteraan hakim tidak diperhatikan negara. Ia juga mempermasalahkan hakim yang masih dianggap sebagai bagian dari PNS.
Nah, untuk meyakinkan MK, ia menghadirkan 3 ahli yaitu pimpinan Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus, ahli tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH dan Dr Irmanputra Sidin. Dalam kesaksiannya, Yusril mendukung gugatan Teguh.
“Norma yang diuji memang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena hanya merujuk pada ‘peraturan perundang-undangan’ saja, padahal UU Nomor 12 Tahun 2011 telah jelas menyebutkan apa saja jenis-jenis peraturan perundang-undangan,” ujar Yusril dalam halaman 33.
Menurut Yusril, norma yang diuji Teguh tidak mengandung kejelasan rumusan. Lazimnya satu norma di dalam UU memerintahkan agar diatur lebih lanjut dengan aturan yang secara tegas disebutkan.
“Lebih baik bila norma yang diuji tersebut merujuk pada peraturan pemerintah,” papar Yusril.
Gayung bersambut. Pada 31 Juli 2012, MK dengan suara bulat mengabulkan gugatan Teguh. Menurut MK, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan pada praktiknya menyebabkan terjadinya beraneka ragam peraturan perundang-undangan yang mengatur gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya bagi para hakim dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama, dan peradilan umum adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat.
Tiga tahun berlalu, kini Teguh berhadap-hadapan dengan Yusril. Kali ini posisinya Teguh menjadi ketua majelis, sedangkan Yusril menjadi kuasa hukum kepengurusan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie.
Berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), hakim haruslah berperilaku berintegritas tinggi, bermakna memiliki sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa dan tidak tergoyahkan.
“Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan,” demikian bunyi KEPPH Pasal 9 poin 5 huruf a.
Pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono menyayangkan komposisi hakim PTUN Jakarta yang diturunkan untuk mengadili sengketa Partai Golkar.
“Maka sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim, Teguh wajib mundur sebagai hakim yang menyidangkan perkara ini,” ujar Bayu saat dihubungi wartawan, Selasa (21/4/2015). (*)