bidik.co — Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani menilai, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah kedaluwarsa. UU yang terbit sejak 13 tahun lalu itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan penyiaran yang begitu pesat dari waktu ke waktu.
“Penyiaran berjalan dan bergerak begitu cepat mengiringi kemajuan teknologi. Namun, dalam UU Penyiaran ini, masih sangat banyak hal-hal yang belum dipayungi sehingga revisi UU penyiaran menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan yang mendesak,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Salah satu teknis yang akan dibahas dalam RUU penyiaran ini adalah netralitas media televisi dalam pemberitaan. Menurut dia, harus diatur ulang agar pemberitaan yang ditampilkan televisi lebih obyektif dan mencerdaskan.
“Ada kecenderungan siaran-siaran penyiaran ini menjadi sebuah partisan. UU Penyiaran harus mengatur itu agar lembaga-lembaga penyiaran swasta betul-betul menyajikan mutu penyiaran yang berkualitas kepada masyarakat,” ujar Ketua Fraksi Partai Gerindra ini.
Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, lanjut dia, perlu semakin diperkuat dalam revisi UU Penyiaran. Dengan demikian, KPI dapat bertindak tegas ketika menemukan kesalahan penyiaran yang dilakukan oleh televisi nasional ataupun swasta.
“Tidak seperti sekarang ini, KPI tidak memiliki power sehingga lembaga penyiaran tidak bisa diapa-apakan ketika melakukan kesalahan,” ujar Muzani.
Sebelumnya, Rektor Universitas Diponegoro Sudharto juga mengatakan, siaran televisi seharusnya tidak menjadi corong partai politik tertentu agar tidak menimbulkan gesekan dalam masyarakat.
“Siaran TV seharusnya tidak menjadi corong kekuatan parpol sepeti kecenderungan yang terjadi sekarang. Media tv sebagai bagian media publik seharusnya menjadi perekat kabangsaan,” tutur Sudharto dalam acara penandatanganan nota kesepahaman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan sembilan rektor perguruan tinggi di Jakarta, Kamis (26/2/2015).
Ia menilai pemanfaatan televisi sebagai corong kepentingan kelompok adalah persoalan yang harus diselesaikan agar publik tidak menerima informasi yang subjektif. Selain itu, ia berpendapat siaran televisi kini banyak yang tidak mendidik karena berorientasi pasar sehingga tidak mengedepankan kualitas.
“Persoalan lain adalah media televisi ini berorientasi pasar sehingga mementingkan kuantitas. Lebih banyak hiburan yang disiarkan tidak mendidik,” kata dia.
Terkait dua persoalan itu, ia berharap kerja sama KPI dan universitas yang kini sedang dilakukan dapat menghasilkan solusi demi perbaikan siaran televisi di Indonesia.
“Fungsi perguruan tinggi adalah pusat pemikiran, ketika ada persoalan, perguruan tinggi harus menjadi mercusuar solusi permasalahan. Temuan penelitian ini diharapkan tidak hanya meningkatkan kualitas penyiaran, tetapi juga menambah khazanah keilmuan komunikasi,” tuturnya.
Selain itu, ia meminta kesadaran media untuk kembali menyiarkan siaran televisi yang bersifat edukatif, informatif dan menghibur bagi masyarakat luas.
Sembilan perguruan tinggi yang menandatangani nota kesepahaman dengan KPI untuk menjalankan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2015 itu adalah Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Sumatera Utara Medan, Universitas Airlangga Surabaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Ambon, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Udayana Denpasar dan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Masing-masing universitas mewakili kota yang disurvei.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur secara tegas mengenai asas, tujuan, fungsi dan arah penyelenggaraan penyiaran. Sebagai kegiatan komunikasi massa, penyiaran memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat serta kontrol dan perekat sosial. (*)