bidik.co — Langkah Presiden Joko Widodo menetapkan Hasban Ritonga menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Sumatera Utara, mulai mendapat perhatian dari kalangan DPR RI. Pasalnya, presiden yang selama ini terkesan sangat berhati-hati dalam mengangkat para menteri, justru menetapkan seseorang yang berstatus terdakwa menjadi seorang sekda provinsi.
“Mestinya pengangkatan pejabat di tingkat lokal juga memperhatikan hal itu (prinsip kehati-hatian). Apalagi pengangkatan sekda berurusan dengan kantor presiden dan wakil presiden,” ujar Ketua Komisi IX DPRRI asal Sumatera Utara, Saleh Partaonan Daulay, Senin (12/1/2015).
Prinsip kehati-hatian Presiden, kata Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ini, sebelumnya terlihat saat menyeleksi pengangkatan para menteri, beberapa waktu lalu. Jokowi meminta masukan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Masukan dimaksudkan untuk mengecek rekam jejak calon-calon menteri yang akan diangkat duduk dalam jajaran kabinetnya. Sehingga tidak ada menteri yang diangkat tengah tersandung kasus hukum.
“Karena itu menurut saya, andaikata masih ada persoalan yang dihadapi, pelantikan seorang pejabat (Sekda Sumut) bisa saja ditunda sampai persoalan tersebut selesai,” ujarnya.
Daulay menilai, langkah menunda pelantikan diperlukan agar pejabat yang bersangkutan tidak dibebani oleh persoalan yang dapat menghambat kinerjanya saat menjabat Sekda nantinya.
Daulay mengatakan, pemerintah lewat Kemendagri, juga perlu melakukan langkah-langkah taktis menyikapi persoalan yang ada. “Paling tidak, pihak kementerian dalam negeri bisa melakukan klarifikasi ke pihak-pihak terkait, dalam hal ini mabes polri,” katanya.
Klarifikasi ini diperlukan untuk mendapatkan informasi valid dalam menentukan status persoalan yang dihadapi calon pejabat tersebut.
Sebelumnya aktivis antikorupsi Ucok Sky Khadafi mendesak Jokowi segera menganulir Keppres pengangkatan Hasban tersebut. Sedang Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Irman Putra Sidin, menilai, masalah ini harus dikembalikan ke aturan tentang syarat-syarat pengangkatan sekdaprov.
Ucok menduga setidaknya ada dua kemungkinan di balik kasus ini. Pertama, Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin Wapres Juusf Kalla dan beranggotakan sejumlah menteri, benar-benar kecolongan, tidak tahu bahwa Hasban berstatus terdakwa.
Namun, katanya, jika ini yang menjadi pemicunya, tetap saja TPA yang harus disalahkan. “Iya, kenapa tidak melakukan check and recheck. Kan sebelum membuat keputusan harus dipastikan dulu track record yang bersangkutan. Bisa tanya aparat hukum, tanya tokoh masyarakat. Ini benar-benar memalukan, memalukan Jokowi,” ujar Ucok di Jakarta, Minggu (11/1/2015).
Kemungkinan yang kedua, lanjut Ucok, memang ada pihak-pihak yang bermain untuk meloloskan Hasban. “Rasanya gak mungkin kalau gak ada yang bermain,” ujarnya.
Ucok meminta Presiden Jokowi segera mencabut Keppres dimaksud. “Cabut saja, status quo-kan jabatan sekda Sumut,” cetus Ucok.
Terpisah, pengamat HTN Irman Putra Sidin menilai, masalah seperti ini harus dikembalikan lagi ke aturannya. “Gampang, kembalikan saja ke aturannya. Ada gak larangan terdakwa menjadi sekda provinsi,” cetus Irman.
Menurutnya, seorang yang berstatus terdakwa, belum tentu bersalah. Karena itu, tidak bisa serta-merta hak-haknya sebagai birokrat langsung dipangkas. “Kasihan kan?” kata Irman.
Secara etika, layak gak seorang terdakwa menjadi sekda provinsi? “Saya tak bicara soal etika. Saya bicara dari segi aturan hukumnya,” jawab Irman.
Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan pemerintah pusat siap mengkaji surat Keppres tentang pengangkatan Hasban dimaksud.
“Walau Keppres sudah ada, kita akan cek sekali lagi posisinya di kejaksaan dan kepolisian,” ujarnya, Minggu (11/1/2015).
Menurut Tjahjo, pada dasarnya pemilihan Hasban dilakukan dengan sejumlah pertimbangan. Namun perlu diketahui, pengkajian lewat Tim Penilai Akhir (TPA), dilakukan setelah Gubernur menyaring terlebih dahulu tiga calon yang disodorkan ke Presiden. “Saat diusulkan gubernur ada tiga (calon Sekda), itu harus clean n clear sebelum diusulkan,” katanya.
Diketahui, dalam Permendagri Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pedoman Penilaian Calon Sekda Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Kabupaten/Kota, sama sekali tidak menyinggung soal status hukum si calon.
Hanya diatur mengenai syarat administrasi dan Wawasan Kebangsaan si calon. Antara lain harus pernah menjabat jabatan eselon dua yang berbeda selama minimal dua tahun, ijazah minimal sarjana S1, serta semua unsur penilaian prestasi kerja (DP3) sekurang- kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir. (*)