bidik.co — Dua belas(12) lembaga survei menunjukkan hasil quick count yang berbeda terhadap Pilpres 9 Juli lalu. Salah satu faktor penyebabnya, diduga adalah praktik pelaksanaan survei di lapangan.
Menurut peneliti opini publik Agung Priyatna, metodologi yang digunakan oleh lembaga survei tidak ada yang salah. Hanya saja validitas hasil quick count akan berkurang jika para lembaga survei itu tidak memperhatikan sebaran sampelnya.
“Kalau mereka tidak cermat, sebaran tidak diperhatikan, padahal itu basis salah satu pasangan, tentu hasilnya akan berbeda dan tidak dapat mewakili secara umum,” kata Agung dalam diskusi bertajuk ‘Republik Quick Count’ di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (12/7/2014).
Agung mengatakan, teknik yang dilakukan lembaga survei adalah mengejar kecepatan. Sehingga menurutnya hal tersebut akan mempengaruhi keakuratan quick count.
“Sekarang 2,5 jam saja sudah bisa kelihatan hasilnya. Dulu saya 2 hari baru bisa tahu semua,” kata mantan peneliti LP3S ini.Selain itu, menurut Agung, banyak trik-trik yang mungkin saja digunakan oleh lembaga survei dalam melakukan penelitian. Di sisi lain, statistik tidak dapat menjamin hasilnya akurat 100%.
“Statistik ini sebuah pengetahuan yang mengizinkan penggunanya untuk keliru. Dasarnya saja sudah begitu, jadi mungkin saja keliru,” katanya. (ai)