bidik.co — Kadin DKI Jakarta berharap pemerintah membangkitkan industri kreatif perfilman nasional yang memiliki potensi besar, namun selama ini dibiarkan berjalan sendiri tanpa mendapat dukungan pemerintah.
Wakil Ketua Umum Bidang Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Periklanan, dan Telekomunikasi, Uchy Hardiman mengatakan dengan bertumbuhnya film lokal saat ini harus menjadi momentum yang tepat bagi semua pihak terutama pemerintahuntuk memberikan banyak kemudahan kepada pelaku perfilman agar terus mengembangkan industri film.
“Kita berharap agar pemerintah bisa mendorong dalam bentuk promosi baik secara lokal dan international,” ujarnya Sabtu (30/5/2015).
Selain masalah promosi, masalah penting adalah kurangnya pendananaan pada industri perfilman karena perbankan kurang tertarik memberikan pinjaman.
Uchi menambahkan Kadin DKI akan terus mendorong pemerintah agar terus memperhatikan hal ini karena kurangnya dukungan itu membuat banyaknya investor asing urung masuk ke Indonesia.
“Kami sudah bersinergi dengan Asosiasi Produser Film Indonesia yang baru terbentuk satu tahun, sehingga melalui asosiasi itu keluhan dan kekurangan bisa disampaikan pada pemerintah”.
Artis Putri Ayudya menilai industri perfilman ikut mendorong ekonomi nasional karena di dalamnya melibatkan industri fashion dan teknologi informasi.
“Sudah saatnya semua pihak mendorong perkembangan industri film dalam negeri sehingga bisa bersaing dengan film impor yang mulai membanjir di Tanah Air,” ujarnya.
Gairah bisnis bioskop dan penciptaan iklim persaingan yang lebih sehat sekarang ini memang menjadi kabar baik. Data jumlah bioskop pada pertengahan 2014 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jaringan 186 bioskop/826 layar yang dikelola oleh dua grup besar, yaitu 21 Cineplex dan Blitzmegaplex. Jumlah ini akan terus bertambah seiring tren peningkatan yang tampak dalam lima tahun terakhir.
Namun, yang mengejutkan adalah kegelisahan lain menyangkut industri film nasional. Meski jumlah bioskop dan layar terus bertambah, ternyata jumlah penonton film nasional mengalami penurunan. Sepanjang 2010, film nasional yang tayang di bioskop jumlahnya 74 film dengan jumlah penonton mencapai 16,8 juta. Sementara pada 2014 dengan jumlah film nasional yang diputar mencapai 113 film hanya mampu menarik penonton sebanyak 15,2 juta.
Artinya, pertumbuhan jumlah bioskop yang dibarengi dengan peningkatan produksi film nasional ternyata berbanding terbalik dengan tren jumlah penonton.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GBPSI) Djonny Sjafruddin menjelaskan, kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah selaku pihak yang paling berkompetensi untuk memajukan industri perfilman nasional.
Ia menyebut peningkatan produksi film nasional sampai membuat bioskop mengalami kesulitan dalam menentukan jadwal tayang. Bukan soal tak mendukung pemberian porsi lebih banyak untuk pemutaran film dibanding film impor, namun lebih kepada soal standar kualitas.
Pengusaha bioskop mengalami dilema jika dihadapkan pada urusan ini. Pada satu sisi, ada semangat yang sama untuk memajukan industri perfilman nasional. Namun, di sisi lain, film produksi dalam negeri masih sedikit yang kualitasnya mampu meledak dan mendatangkan banyak penonton.
“Kondisinya sekarang memang seperti itu. Kesulitan bioskop itu, kadang untuk ngomong ke orang bahwa ‘eh, film bikinan kamu itu enggak bagus’ itu susahnya minta ampun. Kami enggak boleh menolak film nasional, kita wajib menayangkan film nasional. Tapi, kami kan sedih juga kalau ada film nasional yang sekali diputar ternyata penontonnya cuma lima belas orang, sepuluh orang, bahkan bisa lebih sedikit dari itu,” ujar Djonny.
Ia tidak melarang jika para seniman atau pembuat film menggarap proyek idealis. Namun, ia menggarisbawahi bahwa ketika sudah selesai diproduksi dan disodorkan ke bioskop, sebenarnya film itu sudah memasuki wilayah industri. Nah, bicara industri ini tentu tak bisa lepas dari logika pasar.
“Kalau mau lihat pasar ya ini sudah soal aspek supply and demand. Tidak semua film nasional tinggi penontonnya. Tapi kalau kami bilang kondisi sebenarnya untuk kepentingan bisnis, Anda juga mestinya jangan langsung mengoceh bahwa bioskop telah menganaktirikan karya anak negeri. Itu tidak fair, karena kami tidak seperti itu,” kata Djonny.
Menurut Djonny, berdasarkan pengamatannya selama ini rata-rata dalam setahun hanya sepuluh persen film nasional yang diputar bioskop bisa sukses di pasaran. Para pembuat film dituntut dalam hal ini untuk mampu menyajikan karya yang unik dan menarik.
“Pasar itu kurang menyukai kreativitas para pembuat film yang kurang variatif. Misalnya, begitu lihat film satu tentang pocong atau tema horor laku, lantas yang lain ikut bikin film tentang setan ini atau hantu itu,” kata Djonny.
Sebenarnya, ia melanjutkan, tak bisa dipungkiri bahwa modal untuk membuat film bermutu memang tidak sedikit. Film sekelas box office yang selalu dipadati penonton biaya produksinya diperkirakan lebih dari Rp200 miliar. Sedangkan rata-rata film produksi nasional biaya produksinya dibawah Rp10 miliar. Perbandingan yang amat jauh dari segi finansial ini sudah cukup menjadi alasan untuk dimaklumi mengenai terbatasnya pengembangan kreativitas dalam pembuatan film nasional.
“Pemerintah harus turun tangan, lakukan riset misalnya seperti bagaimana pandangan dan harapan masyarakat atau penonton hingga ke daerah-daerah mengenai film nasional. Studi atau kajian ilmiah ini penting bagi generasi sineas kita yang baru untuk bikin film. Sayang kan kalau ada pembuat film kita yang muda-muda ini semangatnya sudah bagus, tapi mereka tidak ada yang membina,” kata Djonny.
Kondisi film nasional yang sebagian besar tidak berkualitas ini telah diakui oleh Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Gatot Bradjamusti. Menurut Gatot, sampai saat ini film Indonesia masih belum bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Padahal, di tahun 80-an, film-film Indonesia sempat berjaya. Namun, setelah itu kejayaan perfilman nasional semakin meredup.
Menurut Gatot, faktor utama yang membuat rendahnya kualitas film nasioal dipengaruhi oleh minimnya anggaran dalam pembuatannya. Bahkan, total biaya pembuatan film di Indonesia dengan Hollywood juga sangat timpang. Masalah keterbatasan dana inilah yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap hasil karya filmnya. Memang, anggaran merupakan suatu aspek keseriusan dalam membuat sebuah film yang berkualitas.
Ditambah lagi, selama ini, pemerintah juga dianggap tidak memiliki perhatian khusus terhadap perfilman di Indonesia. Pemerintah hanya menggembar-gemborkan supaya sineas menciptakan karya film yang berkualitas. Namun, mereka tidak pernah memberikan kucuran dana bagi badan yang mengurusi maslah perfilman ini, seperti BPI. Bahkan, BPI dalam menjalankan tugasnya masih mengandalkan dana swadaya dari para pengurusnya.
“Ada kok beberapa film Indonesia yang termasuk dalam kategori bagus. Namun, masyarakat sudah terlanjur menggeneralisasi kualitas film Indonesia, yang dianggapnya jelek. Bahkan, stereotip itu masih melekat sampai saat ini,” kata Gatot.
Maka dari itu, yang juga perlu dilakukan sekarang adalah membangun kepercayaan kepada masyarakat tentang kualitas film Indonesia. Hal ini dilakukan supaya nantinya masyarakat bisa memiliki anggapan yang baik terhadap produksi film dalam negeri. (*)