bidik.co — Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak punya standar operasional yang jelas soal percepatan pembangunan dan infrastruktur terkait kebijakannya mengundang sebesar-besarnya investor masuk ke Indonesia.
Akibatnya, akan makin banyak pengembang atau developer bermodal besar bekerjasama dengan aparat menindas warga tanpa peduli hak asasi manusia (HAM).
Demikian disampaikan Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Isnur, kepada wartawan usai konferensi pers di kantor LBH, Jakarta, Kamis (18/12/2014). Karena itu pihaknya mengkhawatirkan pemerintahan ini akan menjadi sama beringasnya dengan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan H.M. Soeharto.
“Dari program percepatan pembangunan dan mengudang investor itu, Jokowi tidak terapkan prosedur pembebasan lahannya. Ini akan jadi momok sangat mengerikan. Di lapangan aparat malah bertindak represif menindas warga demi pembangunan. Jokowi bisa jadi Soeharto kedua,” kata Isnur.
Menurut Isnur, sejauh ini, pembebasan lahan yang mengedepankan dialog seperti yang dijanjikan Jokowi tidak ditemukan. Sama pada era Soeharto, karena alasan pembangunan, pemerintah dan aparat tidak peduli kehendak warga.
“Menurut catatan LBH, Jokowi dapat poin buruk soal keinginannya untuk percepatan pebangunan dan tiadanya SOP yang jelas di lapangan. Selama ini aparat hanya menggunakan UU pembebasan lahan dan tidak mau memikirkan warga,” kata Isnur.
Menurut Isnur, wajar warga akan melawan karena dirampas haknya atas lahan yang kebanyakan sudah mereka tempati puluhan tahun. Ditambah lagi, makin banyak yang merasa dizalimi kebijakan pemerintahan Jokowi, khususnya warga Jabodetabek, yang sebagian besar mengalami kemiskinan struktural.
Sementara itu Ketua DPP Gerindra Bidang Pertahanan, Muhmmad Harris Indra mengharapkan, jangan biarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus dibenarkan secara membabi buta. Kalau memang ada kebijakan pemerintah yang tidak benar tentu saja harus dikritik.
“Kita tagih terus janjinya. Kalau terus dibiarkan, Jokowi bisa jadi diktator. Jangan jadikan Jokowi dan kabinetnya menjadi sosok yang tidak bisa dikritisi,” kata Harris, saat diskusi Perhimpunan Mahasiswa Jakarta “Sistem Presidensial dan Realitas Politik Pasca Pilpres 2014” di Hotel Menteng, Jakarta, Kamis (18/12/2014).
Harris yang pada Pilpres 2014 membangkang dari kebijakan partainya dan memilih mendukung Jokowi, salah satu yang memiliki urgensi tinggi untuk dievaluasi Jokowi adalah pola komunikasi sesama kementerian. Menurut Harris, jangan jadikan kementerian bak raja-raja kecil. Contoh yang paling mencolok adalah soal perbedaan pernyataan menteri Jokowi soal tiga “kartu sakti” Jokowi.
“Banyak menteri yang bilang dana kartu Jokowi itu dari CSR, ada yang bilang dari APBN, ada yang bilang dari BPJS. Pernyataan Mensesneg Pratikno yang bilang dana CSR pantas dievaluasi,” ucap Harris.
Ditambah lagi akhir-akhir ini kebijakan Menteri BUMN Rini Sumarno yang kontroversial, contohnya, ia ingin menjual aset gedung Kementerian BUMN. Menteri-menteri Jokowi selalu menggampangkan segala sesuatu dan masih membawa tabiat buruk sebelumnya.
“Sangat disayangkan kalau ada di ring satu Istana, jalan Merdeka Barat yang katanya mau jadi jalan Sukarno itu, ada milik swasta. Cukup Indosat saja di Medan Merdeka Selatan yang dimiliki swasta. Hal seperti ini harus cepat dievaluasi oleh Jokowi,” seru Harris. (*)