Home / Politik / Alasan Pihak-pihak Yang Tolak Pilkada lewat DPRD

Alasan Pihak-pihak Yang Tolak Pilkada lewat DPRD

bidik.co — Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pilkada) saat ini tengah dibahas Kementerian Dalam Negeri dan DPR. Panja RUU Pilkada saat ini sedang digodok oleh DPR. Ada tiga opsi yang ditawarkan dan menjadi pro dan kontra antar fraksi di DPR.

Opsi pertama, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih langsung seperti sekarang. Dalam opsi ini didukung oleh PDIP, Hanura, PKB dan pemerintah.

Opsi kedua, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih oleh DPRD didukung oleh Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKS dan Gerindra.

Opsi ketiga, Gubernur dipilih langsung, namun Bupati, wali kota dipilih DPRD yang hanya didukung oleh DPD.

Mayoritas fraksi dari kubu Prabowo Subianto memilih Pilkada melalui persetujuan DPRD tanpa adanya pemilihan langsung alias tak melibatkan rakyat. Namun ada beberapa pihak menolak Pilkada lewat DPRD, atau ingin melibatkan rakyat dalam memilih wakilnya.

Alasan-alasan mereka menolak Pilkada lewat DPRD:

Pertama, Pilkada melalui DPRD tidak sesuai mandat demokrasi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap dengan sikapnya yang menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan melalui DPRD. Sistem pemilihan tidak langsung itu dinilai tidak sesuai dengan makna demokrasi yang selama ini telah dijalankan.

“Fraksi PDIP tetap berbeda pandangan politik dari fraksi lain di DPR dalam memandang RUU Pilkada. Pilkada melalui parlemen tidak sesuai dengan mandat demokrasi. PDIP tetap menginginkan demokrasi langsung yang dipilih rakyat. Karena itu kami tetap memutuskan pemilihan langsung,” tegas Ketua DPP Bidang Politik dan Hubungan antar Lembaga PDI Perjuangan, Puan Maharani, usai bertemu dengan kader PDIP di Hotel Gumaya Tower, Jalan Gajah Mada, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/9/2014).

Puan menyatakan, meski berbeda pandangan politik, PDIP akan tetap menghormati sikap fraksi lain ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD.

“Artinya kita berbeda sikap politik. Jika ada pandangan dari beberapa fraksi di DPR yang menyatakan pemilihan langsung sangat menguras anggaran, efisiensi dan efektivitas anggaran pemilihan langsung bisa ditekan. Efisiensi anggaran itu kan banyak hal yang bisa dilakukan,” jelasnya.

Seperti diketahui, RUU Pilkada saat ini masih dalam proses penggodokan dan pembahasan oleh Panja DPR yang akan diputuskan bulan ini. Ada tiga opsi yang sedang dibahas.

Selain itu, masih terjadi tarik ulur terkait pemilihan wakil kepala daerah, apakah disatukan saat pemilihan kepala daerah atau dipilih oleh kepala daerah terpilih.

Kedua, Pilkada tak langsung, demokrasi dibajak elite politik
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak masalah jika opsi pilkada langsung dalam Panja RUU Pilkada didukung oleh minoritas fraksi di DPR. PKB yakin, bahwa pilkada langsung dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dan mandat rakyat.

“Enggak masalah sementara jadi minoritas karena yang kita usung adalah gagasan untuk menyelamatkan demokrasi dari pembajakan para elite politik,” kata Sekretaris Fraksi PKB DPR Hanif Dhakiri melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat (5/9/2014).

Dia menjelaskan, pilkada langsung juga untuk mempertahankan kedaulatan rakyat di dalam pemilu. Dia yakin, sekarang minoritas, tapi nanti fraksi-fraksi akan banyak yang mendukung. “Ini ide baik yang menginginkan rakyat berdaulat dalam arti sebenarnya. Lambat laun gagasan baik semacam ini pasti akan didukung banyak pihak,” tegas dia.

Hanif menerangkan, pilkada langsung membedakan era reformasi dengan era orde baru dan rakyat menghendaki demokrasi langsung ini. “Kalaupun ada efek negatif dari pilkada langsung seperti misalnya politik uang, itu masih bisa dikelola melalui penataan sistem pemilu secara keseluruhan,” imbuhnya.

Di sisi lain, Hanif yakin melalui pilkada langsung yakin bakal muncul sosok calon pemimpin alternatif yang mampu membawa bangsa ini lebih baik lagi ke depan. “Pilkada langsung lebih memberi ruang munculnya kepemimpinan alternatif yang lebih baik,” pungkasnya.

Ketiga, Pelanggaran terhadap hak konstitusi warga masyarakat
Sejumlah perwakilan kelompok masyarakat sipil dari Perludem, Kemitraan, dan Puskapol UI di Jakarta, Jumat (5/9/2014), menolak sistem pemilihan umum kepala daerah melalui DPRD seperti yang diusulkan sebagian besar fraksi di DPR.

Penasihat Senior Kemitraan Ramlan Surbakti mengatakan pelaksanaan pilkada melalui perwakilan DPRD adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusi warga masyarakat.

“Jika pemilihan kepala daerah dilakukan lewat DPRD, itu inkonstitusional dan tidak konsisten dengan bentuk pemerintahan negara kita. Mekanisme pemilihan kepala daerah kita harus konsisten dengan pemilihan kepala negara atau pilpres. Karena Presiden kita kemarin dipilih secara langsung maka pemilihan kepala daerah harus disesuaikan dengan itu,” kata Guru Besar Universitas Airlangga itu dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Pusat.

Menurutnya, meskipun dalam Undang-undang Dasar 1945 hanya dijelaskan kepala daerah dipilih secara demokratis, hal itu bukan berarti mengizinkan sistem pemilu tidak langsung dengan mengabaikan sistem politik lain yang mengikuti.

“Memang dalam pasal 18 UUD 1945 itu berbunyi secara demokratis, tetapi itu harus dilihat secara utuh, keseluruhan, jangan dinilai pasal demi pasal. Ada pasal lain yang mengatakan kalau dalam bentuk pemerintahan presidensial kepala negaranya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, maka itu tidak bisa dipisahkan dengan pemilihan kepala daerah,” jelasnya.

Keempat, Pilkada langsung meminimalisasi jumlah korban meninggal
Direktur Pusakpol UI Sri Eko Budi Wardani mengatakan anggota DPR harus menghormati perjuangan bangsa Indonesia hingga menghasilkan sistem pemilihan umum secara langsung seperti yang terjadi saat ini.

Menurut Budi Wardani, pengalaman pilkada secara langsung cenderung meminimalisasi jumlah korban meninggal akibat konflik horizontal.

“Jumlah kekerasan atau konflik yang muncul karena pilkada langsung sangat minor. Dalam periode 2010 hingga kini, pilkada langsung di daerah berjalan relatif aman dan damai. Meskipun memang masih ada beberapa persoalan,” kata dia.

Hingga Mei 2014, seluruh fraksi tidak ada yang menyetujui usulan pelaksanaan pemilihan gubernur melalui DPRD atau tidak langsung. Sembilan fraksi di Komisi II DPR RI menginginkan pilkada di tingkat provinsi dilakukan secara langsung.

Pemerintah pun akhirnya melunak, yang tadinya mengusulkan pemilu lewat DPRD menjadi setuju dengan sistem pilkada langsung, baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati dan wali kota.

“Prinsipnya, kami (Pemerintah) mengikuti perkembangan suara-suara yang beredar di masyarakat, aspirasi masyarakat melalui DPR. Kalau memang masyarakat masih menghendaki secara langsung, maka Pemerintah tidak keberatan mencabut usulan kami yang lama soal Pilkada lewat DPRD,” tutur Djohermansyah.

Namun, kesepakatan untuk melaksanakan pilkada langsung tersebut mendadak berubah total karena sebagian besar fraksi menginginkan mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD.

Begitu pun dengan pilkada di tingkat kabupaten dan kota, sebagian besar fraksi di Komisi II DPR RI menginginkan pelaksanaan pilkada secara tidak langsung. Tercatat lima fraksi yang menginginkan pilkada melalui DPRD adalah Demokrat, Golkar, PAN, PPP, dan Gerindra.

Kelima, Politik uang jangan jadi argumentasi tolak pilkada langsung
Direktur Eksekutif Perludem Titiek Anggraeni menegaskan argumentasi penolakan pilkada langsung adalah soal politik uang yang marak terjadi saat proses pemilu. Menurut dia, alasan ini tidak bisa dijadikan argumentasi untuk menolak pilkada langsung.

“Soal politik uang rakyat dikotori politik uang, pertanyaannya siapa pelaku politik uang? Rakyat? Kan bukan. Lalu kenapa mata rantai ini disalahkan pada rakyatnya, ketika aktor utamanya ini yang belum dibenahi, pokok masalahnya di mana solusinya di mana ini tidak saling bertemu,” tegas Titiek di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (5/9/2014).

Terakhir, alasan sering terjadi konflik horizontal karena pilkada langsung. Menurut dia, tidak ada data konflik horizontal yang signifikan membuat pilkada langsung harus tidak dilakukan lagi.

“Soal konflik horizontal, pertanyaannya datanya berapa bahwa konflik horizontal itu menjadi signifikan untuk mengambil mandat rakyat dan mengembalikan pada DPRD,” ujarnya. (ai)

Komentar

Komentar

Check Also

Nuroji: Pilkada Harus Jadi Ajang Pendidikan Politik Bagi Masyarakat

Bidik.co— Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 bakal digelar pada November 2024. Pilkada yang terdiri …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.