bidik.co — Aktivis Perempuan Nani Zulminarni dijagokan jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Nani Zulminarni muncul sebagai kandidat yang dijagokan. Sebenarnya siapa Nani Zulminarni?
Perempuan berusia 52 tahun ini adalah lulusan Institut Pertanian Bogor yang pernah bekerja di Pusat Pengembangan Agribisnis (PPA). Nani kemudian merintis Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) dan menjadi direkturnya pada tahun 1995. Perhatiannya terhadap masalah yang dialami perempuan kemudian berkembang saat ia mulai mengadvokasi para janda pada tahun 2001.
Dari inisiasi Komnas Perempuan, Nani kemudian mendirikan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Visi PEKKA adalah pemberdayaan perempuan kepala keluarga dalam rangka ikut berkontribusi membangun tatanan masyarakat yang sejahtera, adil gender, dan bermartabat.
Di tangan Nani, PEKKA lantas mengembangkan diri. Progam PEKKA tidak hanya merangkul para janda, tetapi juga para perempuan lajang yang menanggung beban keluarga dan para istri yang suaminya cacat atau sakit permanen.
Nani membantu wanita yang menjadi kepala rumah tangga, janda, mereka yang bercerai, mereka yang telah ditinggalkan oleh suami mereka, mereka yang suaminya cacat atau sakit, dan wanita-single untuk mengenali diri mereka sehingga mampu membuat kontribusi penting kepada masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektif. Berkat kiprahnya ini, Nani mendapat sejumlah penghargaan, salah satunya adalah Ashoka Fellowhip pada tahun 2007.
Suatu waktu yang menarik bagi Nani, ketika dirinya berusaha ingin mengembalikan harkat dan martabat para janda, seorang kepala desa di Nanggroe Aceh Darussalam kepada Nani berkata, “Ibu seorang janda cerai, jadi bagaimana mungkin Ibu bisa menjadi koordinator nasional program ini, kalau mengurus suami saja Ibu tidak becus?” ujar kepala desa tersebut.
Menurut Nani, menjadi janda memang susah. Umumnya perempuan yang menjanda mendapatkan stigma dari masyarakat. Status itu cenderung dihubungkan dengan kegagalan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan dari pihak perempuan, ketimbang yang dilakukan kaum laki-laki. Derita psikologis dan sosial ini biasanya juga diikuti persoalan ekonomi, apalagi apabila sang janda berasal dari kalangan miskin. Padahal peran janda sebagai ibu sangat penting bagi keberlanjutan sebuah keluarga, dan pada gilirannya bagi bangsa.
Nani Zulmarini (52) memandang persoalan janda miskin tidak sesederhana yang dipikirkan banyak kalangan. Bantuan berupa sumbangan dana kepada mereka, menurut perempuan asal Ketapang, Kalimantan Barat ini, bukanlah jawaban. Nani mengembangkan pendekatan yang sama sekali baru mengatasi persoalan janda, yang di sejak era konflik di negeri ini jumlahnya terus meningkat. Menurut Nani, pendekatan pemberdayaan yang menyeluruh atau komprehensif sangat penting untuk mengatasi persoalan mereka yang kompleks.
“Seorang janda mengahadapi banyak persoalan. Peran mereka sebagai kepala keluarga justru dihambat dan dipersulit dari segi budaya, sosial, hukum, dan ekonomi. Akses untuk memperoleh hak-haknya juga terhambat, sehingga kebanyakan janda cenderung semakin terpuruk,” ujar Nani, suatu ketika.
Salah satu andalan Nani dalam mengentaskan masalah kaum janda dan para kepala keluarga perempuan adalah usaha simpan pinjam atau koperasi. Nani dan organisasinya, PEKKA (Program Pemberdayaan Kepala Keluarga Perempuan) berupaya mendorong para janda untuk mengelola secara swadana dan swadaya koperasi mereka.
Mengawali upaya ini, menurut Nani adalah hal tersulit. Tidak mudah mendorong janda-janda miskin untuk menabung. Tak urung Nani mengerahkan petugas lapang (PL)-nya untuk mendidik dan melatih para janda itu bagaimana menyimpan uang, mulai dari Rp 100 hingga beberapa ribu setiap hari atau setiap minggunya. Ada kalanya, karena sangat miskinnya, beberapa janda hanya bisa menyisihkan satu sendok gula per hari, atau satu butir kelapa per minggu.
Para janda itu lama-kelamaan bersemangat mengelola uang mereka, apalagi saat mereka mulai dapat merasakan manfaat uang simpanan mereka. Mereka termotivasi karena bisa meminjam dana dari uang yang mereka kumpulkan sendiri itu dengan bunga yang tidak setinggi yang dikenakan kalangan renternir yang biasa meminjami mereka uang. Apalagi keuntungan simpan pinjam itu dikembalikan kepada mereka lagi setiap akhir tahun sebagai SHU (sisa hasil usaha).
Saat ini terhitung ada 370 lebih Kelompok Simpan Pinjam di delapan provinsi di seluruh Indonesia. Jumlah anggotanya lebih dari delapan ribu janda dan kepala keluarga perempuan, dengan 28 Lembaga Keuangan Mikro dan 500 perempuan pemimpin basis.
Menginjak usia PEKKA yang ketujuh, ada 400 lebih kader lokal yang secara terus-menerus memperjuangkan hak-hak para janda, baik di bidang hukum, pendidikan, sosial, maupun ekonomi. Perjuangan mereka memberikan hasil yang luar biasa, sehingga Nani sebagai penggagas menuai berbagai penghargaan atas sepak terjangnya membantu kaum janda ini. Nani, antara lain menjadi satu dari 1000 perempuan yang layak menjadi kandidat peraih penghargaan Nobel, disamping memperoleh penghargaan sebagai inovator dari Ashoka Global.
Nani, melalui PEKKA mendorong para perempuan kepala keluarga untuk menyuarakan dan menggugat hak-hak mereka. Hasilnya, ratusan janda di beberapa provinsi memperoleh akses mendapatkan akta cerai untuk dirinya dan akta kelahiran untuk anak-anak mereka.
Selain itu, di beberapa para janda di daerah konflik seperti di Aceh dan Ambon terbukti anggota PEKKA memiliki peran sangat besar dalam terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi.
Bahkan seusai bencana tsunami di Aceh di akhir tahun 2004, para anggota PEKKA yang terbiasa berorganisasi berhasil memberdayakan kaum janda yang selamat dari bencana untuk mengorganisasi bantuan dan pertolongan.
Di NTT PEKKA juga berhasil menerobos hambatan budaya patrilineal yang sangat kuat, dan beberapa anggotanya bahkan berhasil memegang jabatan sebagai kepala desa, sehingga mulai dapat turut berperan dalam pengambilan keputusan di kalangan masyarakat.
Hal penting yang menjadi perhatian Nani dalam PEKKA adalah membangun kepercayaan diri kaum janda. Nani melalui PEKKA berusaha menyadarkan para anggota PEKKA akan harkat perempuan, dan bahwa status janda tidak seharusnya menghambat mereka untuk berhasil. Menurut Nani, saat kepercayaan diri para janda itu bangkit, otomatis lebih mudah bagi pera janda itu untuk melihat masa depan mereka.
Bagi Nani sendiri, memimpin PEKKA bukanlah soal gampang. Ia sendiri sebagai orang tua tunggal dituntut memberikan perhatian penuh pada para ketiga anak lelakinya, sementara pekerjaan di PEKKA juga yang bersinggungan dengan permasalahan janda yang sering mempengaruhinya secara psikologis dan emosional.
Namun, ia melatih diri untuk tidak terlarut dalam “romantisme”, begitu juga ia meminta pengertian anak-anaknya berkaitan dengan kesibukannya yang luar biasa.
“Yang paling berat adalah melawan perasaan bersalah kepada keluarga, tapi belakangan ini saya sudah mengatasinya,” ungkap Nani jujur.
Selain hambatan personal, Nani juga mengalami kendala eksternal terutama soal dana. Pernah ia mengutang dana operasional selama setahun demi keberlanjutan organisasinya. Kesulitan itu diatasinya dengan bekerja pontang-panting, baik sebagai konsultan, peneliti, maupun menulis buku demi PEKKA.
Nani tidak merasa menjadi pejuang atau sukarelawan, karena ia menggaji dirinya saat melakukan kegiatan sosialnya. Menurutnya, idealisme harus diimbangi dengan sikap realistis, wirausaha sosial bukan berarti bekerja tanpa imbalan. “Kita tidak mungkin dapat menolong orang lain bila kondisi kita tidak memungkinkan. Paling tidak, kebutuhan dasar kita haruslah terpenuhi,” ujar perempuan yang menikah di usia 21 tahun ini.
Asal mulanya membangun PEKKA adalah pada tahun 2000, bersamaan dengan resminya status perceraiannya. Waktu itu, Nani mendapatkan tawaran dari Komnas Perempuan dan PPK untuk melakukan pendokumentasian dan pembagian dana bantuan bagi para janda di wilayah konflik. Tawaran itu menurutnya menarik, namun ia mengusulkan beberapa perubahan mendasar.
Usul pendekatan pemberdayaan bagi para janda yang digagasnya kemudian, kini terbukti menuai keberhasilan. Keinginannya yang terdalam adalah melembagakan upaya pemberdayaan para janda ini, sehingga ada center-center di kampung-kampung seluruh Indonesia.
Lies Marcus, seorang aktivis perempuan yang dihubungi SH menilai, Nani adalah aktivis yang berhasil dan konsisten dalam melakukan pekerjaannya memberdayakan kaum janda dan perempuan kepala keluarga. (ai)