Bidik.co — Untuk menghadapi melimpahnya pekerja pemula di Indonesia, diperlukan kolaborasi antarkemneterian dan lembaga. Karena kolaborasi antarkementerian dan lembaga merupakan satu-satunya jalan untuk mengatasi melimpahnya jumlah pekerja baru atau pemula. Sebab, ego sektoral justru akan memperlemah upaya pencapaian program.
“Untuk school to work, yang disebut oleh Pak Menteri Ketenagakerjaan sebagai kolabirasi dengan kementerian dan lembaga lain, ini merupakan satu-satunya jalan, karena tidak ada lagi jalan dengan cara ego sektoral. Tidak ada lagi dari kita yang bisa berbangga dengan diri sendiri, maka kolaborasi merupakan satu-satunya jalan selain saling pengertian yang akan ada percepatan dari masing-masing rencana,” tutur Anggota Komisi IX DPR RI, Sri Meliyana dalam Rapat Kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan, di Komplek Parlemen Senayan, Senin (5/5/2025).
School to work transition di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merujuk pada program yang bertujuan untuk mempersiapkan siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) agar siap bekerja setelah lulus. Program ini mencakup pelatihan dan magang di industri, yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa dan mengatasi kesenjangan antara pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Pertanyaan yang muncul, menurut politisi dari Partai Gerindra ini, terkait dengan program school to work ini, sampai umur berapa? Apakah dari usia 19 sampai 24 tahun, sehingga akan dapat dipetakan school to work itu menjangkau SMK saja atau sampai perguru tinggi?
“Program school to work ini sampai umur berapa? Kalau Bapak Menteri Ketenagakerjaan bilang usia 19 sampai 24, maka yang dimaksud school to work itu sampai jenjang perguruan tinggi atau hanya sampai SMK saja? Karena ini ada rentang umur yang pada tingkat pengangguran pada rentang usia 19 sampai 24 tahun, sehingga school to work itu apakah sampai SMK saja, diploma, atau perguruan tinggi? Sebab, link and match kan sampai ke perguruan tinggi untuk school to work,” tutur Mely menguraikan.
Selanjutnya politisi dari daerah pemilihan Sumatera Selatan II itu mengingatkan kembali bahwa pendidikan kita pernah memprimadonakan SMK. Namun dalam perjalanan waktu justru SMK paling banyak menyumbangkan pengangguran.
“Hal ini sebenarnya bagus sekali, karena pendidikan itu dulu pernah memprimadonakan SMK walaupun dalam penyediaan sarana dan prasarana terseok-seok. Tetapi masyarakat tidak tahu dengan penyediaan sarana dan prasarana tersebut. Masyarakat hanya tahu kalau lulusan SMK itu bisa kerja, tetapi pada kenyataannya SMK punya tingkat pengangguran yang paling tinggi,” jelasnya.
Selanjutnya putri asli Kabupaten Lahat itu mengingatkan bahwa anak-anak yang sekolah, khususnya di SMK, memang semula menjadi tanggung jawab pada kementerian di bidang pendidikan, namun setelah lulus sudah harus menjadi tanggung jawab bagi kementerian di bidang ketenagakerjaan.
“Ketika dia lulus SMK, persoalannya bukan pendidikan lagi tetapi pada ketenagakerjaan. Jadi kita punya limpahan itu, karena itu bagaimana kita membuat suatu inovasi, karena kalau urusan ini berhenti pada kreativitas saja tentu tidak cukup. Karena ketika di sekolah menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tapi ketika lulus menjadi tanggung jawab Kementerian Ketenagakerjaan. Karena itu, kolaborasi antarkementerian dan lembaga menjadi keharusan,” pungkas Sri Meliyana. (agus/rio)