bidik.co — Arah pergerakan ekonomi global mau-tidak mau harus diikuti oleh seluruh negara di dunia, sebagai pijakan menentukan arah kebijakan ekonomi nasionalnya. Setidaknya demikian yang dipahami oleh Presiden RI Joko Widodo, menanggapi adanya suara miring terkait perjalanan Presiden ke sejumlah negara yang berakhir di Australia menghadiri pertemuan pimpinan negara G20.
Menururut Presiden Jokow, pihaknya menggunakan forum-forum internasional untuk mengetahui arah perkembangan ekonomi global, dan menyampaikan kepentingan nasional dan negara berkembang.
“Kita harus mengerti arah perkembangan ekonomi global. Meskipun akhirnya kepentingan nasional harus didahulukan. Tapi kemana arah angin menuju, kita harus tahu,” kata Presiden Jokowi, Minggu (16/11/2014).
Presiden Jokwi bersama rombongan – dengan menggunakan Pesawat Kepresidenan, mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (16/11/2014) – setelah beberapa hari melakukan kunjungan kenegaraan, diantaranya ke China, Myanmar, dan Australia. Di China menghadiri Pertemuan Puncak Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), di Myanmar menghadiri pertemuan pemimpin ASEAN dan Asia Timur, serta di Australia menghadiri pertemuan pimpinan negara G20.
“Pemerintah memiliki pekerjaan besar di masa depan, baik dalam pengelolaan keuangan maupun ekonomi. Menggunakan forum itu (internasional) untuk menyampaikan agar negara-negara berkembang diberikan ruang sehingga tidak dirugikan. Masalahnya jangan sampai kita rugi mereka untung. Kepentingan nasional tetap utama,” kata Presiden.
Dari kunjungan kerjanya ke tiga negara, kata Presiden, nantinya akan ditindaklanjuti oleh menteri-menteri terkait, agar tidak terhenti pada tingkat pembicaraan – namun harus diwujudkan secara konkrit. Misalnya, lanjut Presiden, tentang potensi kerja sama maritim dan otomotif dengan beberapa negara.
Meski pernyataan Presiden tentang relasi internasional melalui forum-forum penting itu tidak dimaksudkan untuk menjawab ‘suara’suara miring’ mengenai keterlibatan Indonesia, namun setidaknya penjelasan Presiden bisa dipahami. Ada beberapa pihak – yang misalnya menyangsikan – keuntungan yang akan diraih Indonesia dalam pertemuan Negara G20.
Bahkan Menterei Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti secara terang-terangan meminta pemerinta segera keluar dari forum Negara G20, karena kebijakan pentarifan melalui forum itu dinilai banyak merugikan pihak Indonesia, khususnya di sektor perikanan dan potensi laut lainnya.
Selama ini kekuatan ekonomi dunia terkonsentrasi di pusaran hegemoni negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat. Namun, seiring waktu, kini angin mulai bertiup ke arah timur, ke Asia.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Surin Pitsuwan dalam Seminar Investor Menteri Keuangan ASEAN ke-8 di Jakarta, Selasa (8/11/2011), menyatakan, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Asia telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi penting di tataran global.
Tahun lalu, menurut Surin, Asia berkontribusi besar memulihkan ekonomi global pascakrisis tahun 2008 dengan pertumbuhan ekonomi 9,5 persen, jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global sebesar 5,1 persen. Sementara ASEAN tumbuh 7,5 persen.
Bicara ekonomi Asia, pasar terbesarnya adalah China dan Indonesia. Bersama dengan Amerika Serikat (AS) dan India, China dan Indonesia menguasai sekitar 50 persen pangsa pasar dunia.
Kini perekonomian dunia sedang dalam ketidakpastian menyusul krisis utang di Eropa dan gejolak finansial di AS. Dipastikan akan banyak uang panas mencari negara-negara yang tidak saja ”aman” dari krisis, tetapi juga atraktif. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang punya kriteria tersebut.
Tren inflasi ke depan stabil dan relatif rendah dengan kisaran 4-5 persen. Pertumbuhan ekonomi positif, sampai dengan triwulan III-2011 sebesar 6,5 persen. Target tahun depan sebesar 6,7 persen.
Kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya 25 persen terhadap produk domestik bruto. Sementara ruang investasi masih terbuka luas dengan kekayaan sumber daya alam berlimpah dan beragam. Demografi penduduk pun tergolong produktif, baik dalam hal pasar maupun buruh.
Amerika Serikat tidak lagi menarik karena bunganya kecil. Bank-banknya harus ditalangi terus-menerus sehingga berisiko. Pasar domestiknya pun mulai menurun karena maraknya pemutusan hubungan kerja. Tingkat pengangguran sudah di atas 9 persen.
Sementara China dan India, meski pasarnya juga besar, kini sudah kepanasan. Jadi, sebentar lagi pertumbuhan ekonominya akan menurun. Sekarang eranya investasi di Indonesia. Tentu saja yang penting adalah bisa mengarahkan dana-dana asing itu ke sektor riil.
Namun demikian, ada pekerjaan rumah yang harus secepatnya dibenahi. Berdasarkan International Finance Corporation, indeks iklim usaha Indonesia berada di urutan ke-126 dari 129 negara.
Artinya, negara dan birokrasi yang semestinya berperan positif justru malah jadi pengganggu. Jumlah hari memulai bisnis di Indonesia adalah 60 hari. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang masing-masing hanya 3 hari dan 11 hari.
Ekonomi makro sehat, sumber daya alam melimpah, demografi produktif, dan angin sedang bertiup ke Indonesia. Namun, itu belum cukup karena birokrasi bersama infrastruktur dan sumber daya manusia adalah layar kapal Indonesia yang belum sepenuhnya terkembang. Dan tentu saja, momentum belum tentu datang setiap tahun. (*)