bidik.co – Tim kajian Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) akan menyampaikan sejumlah rekomendasi pada sidang paripurna MPR, Senin (22/9/2014). Salah satu rekomendasi yang disampaikan adalah mengembalikan fungsi MPR menjadi lembaga tertinggi negara.
“Ini harus diluruskan, menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi. Bukan berarti seperti Orde Baru,” papar papar anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Deding Ishak, Senin pagi.
Deding melanjutkan, “Ada pemikiran dengan fungsi MPR yang menetapkan UUD 1945 seharusnya dia berbeda dibandingkan lembaga-lembaga lainnya. (Namun), Presiden tetap dipilih langsung (tak seperti di Orde Baru yang merupakan mandataris MPR).”
Menurut dia, rekomendasi perlunya mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah hasil dari tim kerja kajian MPR yang melakukan diskusi di seluruh Indonesia. Namun, dia menegaskan bahwa penyesuaian posisi MPR ini lebih ditekankan pada hubungan kelembagaan.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan MPR masih tertingi karena bisa memakzulkan presiden. Bahkan, posisi MPR bisa makin kuat jika ada amandemen UUD 1945 lagi. “Yang akan datang, perlunya lembaga (MPR) yang lebih eksis melalui amandemen,” ujar Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Papua, Wahidin Ismael, di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (22/9/2014).
Wahidin mencontohkan, UUD 1945 memberi kewenangan kepada MPR untuk menerima laporan kinerja kementerian. Dengan demikian, ada lembaga yang mengevaluasi kinerja pemerintahan dan mengumumkannya ke publik.
“Menjadikan MPR sebagai institusi untuk mengevaluasi kinerja pemerintah berasal dari berbagai forum di daerah-daerah. Begitu juga pemeliharaan pilar-pilar bangsa. Daerah juga menyatakan MPR agar lebih maksimal lagi,” ujarnya.
Kalau aspirasi daerah tersebut tidak direspon secara baik, sambung Wahidin, maka MPR akan tetap menjadi asesoris demokrasi. “MPR harus jadi lembaga yang bisa memberi masukan dan mengayomi bangsa ini. Kalau tidak, MPR hanya akan jadi sekedar asesoris demokrasi,” pungkasnya.
Sidang Paripurna MPR RI Senin (22/9/2014) menyepakati membentuk Panitia Ad Hoc (PAH) khusus untuk membahas Tatib MPR untuk dituangkan menjadi Keputusan MPR. PAH direncanakan bekerja hanya tujuh hari sejak ditetapkan. Pada 29 September 2014 mendatang, ditargetkan kerja PAH dapat disepakati dalam sidang paripurna MPR untuk terakhir kalinya di periode MPR 2009-2014.
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Rully Choirul Azwar mengatakan pihaknya mengapresiasi atas bertambahnya tugas MPR dalam draf Tatib MPR. Menurut dia, tugas MPR yang baru di antaranya memasyarakatkan Pancasila, mengkaji sistem ketatanegaraan, menyerap aspirasi massyarakat terkait pelaksanaan UUD 1945.
“Konsekwensi logisnya berupa peningkatan kerja alat kelengkapan MPR melalui Badan Sosialisasi Pancasila, Badan Kajian Sistem Ketatanegaraan serta Lembaga Kajian Ketatanegaraan,” ujar Rully saat menyampaikan pandangan fraksi Partai Golkar.
Hal itu memang terlihat di draft Tatib MPR Pasal 18 ayat (1) huruf (c) yang menyebutkan alat kelengkapan MPR yang bersifat permanen yakni badan sosialisasi, badan kajian sistem ketatangeraan serta baddan anggaran. Di Pasal 18 ayat (2) juga disebutkan, keberadaan Lembaga Kajian Konstitusi yang sifatnya juga tetap.
Sementara Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI Martin Hutabarat mengatakan penambahan kewenangan MPR bukan dalam rangka mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. “Tidak ada lagi wacana untuk mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” ujar Martin usai Sidang Paripurna MPR RI.
Ia menyebutkan Draft Tatib MPR justru dalam rangka menguatkan MPR dalam bingkai sistem konstitusi yang pro rakyat. Menurut Martin, MPR harus diatur untuk memperkuat sistem ketatanegaraan. “Jadi MPR itu apa? Kok tidak ikut memberi pendapat soal konstitusi. Padahal MK sudah menafsirkan konstitusi.
Aroma penguatan MPR juga terasa saat membuka Pasal 138 tentang Laporan Kinerja Lembaga. Disebutkan, MPR akan menggelar sidang tahunan dalam rangka mendengarkan laporan kinerja lembaga-lembaga negara seperti DPR, DPD, Presiden, MA, Mahkamah Konstitusi, BPK dan Komisi Yudisial. (if)