Home / Politik / Djoko Santoso Sarankan Gerindra Tak Laksanakan Kongres 2015

Djoko Santoso Sarankan Gerindra Tak Laksanakan Kongres 2015

bidik.co — Mantan Panglima TNI, Jenderal Purnawirawan Djoko Santoso menyarankan agar Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, menundaa pelaksanaan Kongres Partai Gerindra tahun 2015 ini.

Djoko beralasan, saran pengunduran Kongres semata-mata untuk menghindari intervensi yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, seperti yang dilakukan terhadap PPP dan Partai Golkar.

“Saya hanya mencoba melihat ada upaya untuk menggoyang partai-parati pendukung Koalisi Merah Putih. Dua partai anggotanya Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar dibuat mengalami konflik internal, sehingga terpecah. Tidak tahu bagaimana nanti nasib PAN. Karena itu saya menyarankan kepada Pak Prabowo untuk mengantisipasi hal ini,” tutur Djoko Santoso, di Sekretariat Djoko Santoso Center, Tebet, Jakarta, Kamis (12/3/2015).

Karena itu Jenderal berbintang empat ini juga menyarankan kepada Prabowo untuk mendisiplinkan kader-kader di Partai Gerindra agar tidak mudah diinfiltrasi, yang berakibat pada intervensi oleh pemerintah.

“Karena itu, langkah yang perlu dilakukan agar tidak terjadi kekisruhan di internal Partai Gerindra, adalah dengan mendispilinkan kader-kader partai, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Ini saya anggap penting untuk membentengi infiltrasi tersebut,” jelas Ketua Djoko Santoso Center tersebut.

Ketika ditanya apakah tidak melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra jika tidak dilakukan Kongres tahun 2015 ini, Djoko Santoso justru menegaskan bahwa ini merupakan amanat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra, karena berkaitan dengan pengambilan keputusan yang strategis menyangkut eksistensi dan keselamatan Partai Gerindra.

“Justru ini berpijak pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Gerindra, dalam Ketentua Khususnya ditegaskan bahwa ‘Berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang strategis, seperti; mempertahankan Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia serta eksistensi dan keselamatan Partai, maka Ketua Umum diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengambil tindakan strategis organisatrorius yang diperlukan,” tandas Djoko meyakinkan.

Seperti diketahui, gonjang-ganjing di internal dua partai politik (parpol), yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar (PG) hingga kini belum juga usai. Kegaduhan internal PPP dan PG sudah terus berlanjut. Sampai sekarang belum ada keputusan final yang bisa menjadi solusi konkrit bagi kedua kubu yang ada di kedua parpol.

Di PPP, yang berseberangan adalah kubu Djan Faridz yang didukung oleh mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dengan kubu M Romahurmuziy yang nyata-nyata mendapat dukungan dari pemeritahan Jokowi-Jusuf Kalla. Romahurmuziy atau biasa dipanggil Romi adalah Ketua Umum PPP hasil Muktamar PPP di Surabaya. Sedangkan Djan Faridz merupakan Ketua Umum PPP hasil Muktamar PPP di Jakarta.

Badai kencang menerpa internal PPP menyusul terjadinya perpecahan arah politik para politisi PPP antara bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH/koalisi Jokowi-JK) atau dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB/koalisi Prabowo-Hatta). Ketua Umum PPP saat itu, Surya Dharma Ali (SDA) sudah dari awal memilih berada di KIB. Penolakan atas sikap SDA itu menimbulkan riak hebat di internal PPP.

Riak di PPP makin kencang setelah Ketua Umum PPP SDA ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama, di mana saat itu SDA menjabat sebagai Ketua Umum PPP. Begitu SDA ditetapkan sebagai tersangka, internal PPP langsung buncah. Maka muncul agenda Mukhtamar PPP di Surabaya yang pada akhirnya memilih Romi sebagai ketua umum.

Namun SDA belum mau lengser dan menganggap Mukhtamar PPP di Surabaya tidak sesuai dengan AD/ART PPP. Berikutnya barisan SDA juga melaksanakan Mukhtamar PPP di Jakarta yang memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM menetapkan kubu PPP Romahurmuziy yang sah.

Berikutnya kubu Djan Farizd menggugat keputusan Kemenkum HAM ke pengadilan, karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di parpol. Gugatan kubu Djan Faridz dimenangkan oleh pengadilan, sehingga dengan begitu SK kepengurusan PPP yang dipegang Romahurmuziy gugur dengan sendiri. Namun demikian, kubu Romahurmuziy tidak terima begitu saja dan mengajukan banding. Sampai sekarang belum ada satu pun kepengurusan DPP PPP yang sah.

Sedangkan kegaduhan di internal Partai Golkar juga tidak kalah hebat. Aburizal Bakrie yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2014-2019 di Munas Golkar Bali, kini terancam kepengurusannya, menyusul pemerintah melalui Kemenkum HAM telah menetapkan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar 2014-2019.

Agung sebelumnya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas Partai Golkar yang dilaksanakan di Ancol. Kemenkum HAM menerbitkan keputusan berdasarkan hasil keputusan Mahkamah Partai Golkar. Tapi, kegaduhan belum tuntas, karena kubu Ical juga memproses berbagai dugaan pemalsuan yang terjadi di kubu Agung saat diselenggarakannya Munas Golkar di Ancol.

Kisruh di internal kedua partai, merupakan dinamika politik yang diduga kuat juga ikut didisain oleh pemerintah. Jika kedua parpol tidak bisa menyelesaikan konflik itu secepatnya, maka keikutsertaan dan peran mereka dalam agenda Pilkada di ratusan daerah di Indonesia akan sia-sia. Selanjutnya perolehan suara kedua parpol berlambang pohon beringin dan ka’bah bisa terancam di Pemilu 2019.

Tentu saja kisruh di internal kedua parpol itu juga menyedot perhatian dan konsentrasi para anggota DPR RI/DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kota/Kabupaten. Meski pikiran dan perhatian mereka sekian persen tersedot oleh kisruh internal parpol yang belum pasti kapan akan berujung, namun kita berharap kisruh itu jangan menyebabkan agenda tugas-tugas kerakyatan terabaikan.

Pada bagian lain, pemerintah sebaiknya berada posisi menyelesaikan dengan solusi yang terbaik. Bukan malah memihak kepada salah satu kubu yang berseberangan. Sejauh ini, sikap yang diambil pemerintah melalui Kemenkum HAM menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Keputusan itu lebih mengedepankan faktor kepentingan politik pemerintah yang berkuasa untuk menjaga keseimbangan di pemerintahan, kepentingan agenda Pilkada dan juga Pemilu 2019. (*)

Komentar

Komentar

Check Also

Sri Meliyana: PPN 12% Adalah Amanat Undang-undang!

Bidik.co — Lahat – Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Asal Daerah Pemilihan Sumatera Selatan II, …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.