bidik.co — Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengingatkan pemerintahan Joko Widodo agar lebih berhati-hati dalam mengeksekusi kebijakannya, terutama terkait tiga kartu ‘sakti’, Kartu Indonesia Sehat (KIH), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Menurutnya, niat baik Jokowi dalam menjalankan kebijakannya haruslah sesuai dengan koridor hukum yang ada.
Fahri khawatir tiga kartu Jokowi ini akan menimbulkan masalah karena belum dikoordinasikan dengan lembaga legislatif yang punya tugas budgeting. Ia juga mengatakan untuk membuat kartu dibutuhkan dana triliunan rupiah yang tentu saja menggunakan sistem tender.
“Satu kartu saja kan bisa Rp 5 ribu, dikali 14 juta (kartu) bisa triliunan, ini kartu doang. Miliar saja ditender apalagi triliun. Jadi ini nggak main-main, harus legalitas sesuai prosedur hukum,” ujar politisi PKS ini di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (5/11).
Jelas Fahri, program tiga kartu Jokowi tersebut berpotensi memiliki nasib serupa dengan kebijakan likuidasi Bank Century yang dilakukan pemerintahan SBY di masa awal pemerintahannya dulu.
“Jadi bisa-bisa disalahkan itikad baik ini. Ingat kayak kasus Centurym, dibilang i’tikad baik tapi efeknya apa? Orang masuk bui, itu yang saya takutkan, kalau nggak ngajak dewan bisa gak?” tutupnya. [rus]
Hal itu juga dipersoalkan oleh anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Soepriyatno mempertanyakan anggaran untuk tiga program itu menggunakan anggaran yang mana. Menurutnya program pemerintah ini bagus, hanya darimana anggarannya, misal sudah ada BPJS Kesehatan.
“BPJS Kesehatan ada payung hukumnya. KIS belum ada payung hukumnya. Kita harus pertanyakan nanti anggarannya darimana, karena belum dibahas dengan DPR,” katanya dilansir dari Parlementaria Rabu (4/11).
Ia menginformasikan bahwa APBN-P 2014 sudah ditetapkan begitupula dengan APBN 2015. Tinggal APBN-P 2015. APBN 2015 bisa dilakukan perubahan setelah melewati tahun 2014.
“Kita akan pertanyakan, bahwa program-program pemerintah itu bagus hanya anggarannya dimana, jangan sampai menyalahi aturan. Ada KIS, KIP, dan ada Kartu Keluarga Sejahtera. Kesemuanya ini membutuhkan pendanaan yang cukup besar,” terang Soepriyatno.
Ia menyatakan DPR belum bisa membahas mengenai KIS, karena payung hukumnya belum ada. Jika KIS silakan Presiden Jokowi sendiri, pemerintah sendiri. Sebelum pemerintah menyampaikan ke DPR mengenai program itu, tegasnya, DPR tidak akan merespon. Tapi jika BPJS akan direspons, karena BPJS untuk rakyat.
Menurutnya, pembiayaan dengan fasilitas kesehatan itu berbanding lurus. Tidak mungkin pembiayaannya kecil fasilitas kesehatannya bagus. “Kasihan rakyat juga nanti, jangan salah ya. Makanya besaran biayanya harus disampaikan dulu ke DPR. Berapa besaran biaya yang digunakan untuk KIS,” imbuhnya.
“Kalau BPJS jelas, semua aturannya ada. Kalau KIS ini berapa, menggunakan sistem kartu atau asuransi, berapa premi yang harus dibayar,” tambah Soepriyatno.
Semua program untuk rakyat, kata Supriyatno, harusnya disampaikan ke DPR dulu, tidak bisa begitu saja ada atau tiba-tiba, ini menyangkut uang rakyat. DPR harus awasi. Jangan sampai rakyat senang tapi pelaksanaannya ancur-ancuran. “Misalnya pembiayaannya terlalu kecil, mana ada rumah sakit yang mau melayani, nanti dia bangkrut,” tukasnya.
Selain dibicarakan dengan DPR, harus diajak bicara pula stakeholder yang lain, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Asosiasi Rumah Sakit Inodnesia (ARSI).
“Karena berbicara Rumah Sakit berarti bicara mengenai fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatannya. Harus win win solution, bicara pemilik modalnya juga, kalau pemilik modalnya rugi terus dan pinjam di bank, nanti jadi masalah,” ujarnya lagi.
Diakui Soepriyatno, rakyat tidak dipungut premi, karena KIS untuk rakyat miskin dan preminya dibayar oleh pemerintah. Sama seperti BPJS, BPJS untuk rakyat miskin preminya dibayar oleh pemerintah. (*)