bidik.co — Mantan Wakil Menteri Pertahanan di era SBY-Boedino, Sjafrie Sjamsoeddin, dinilai memiliki keilmuan intelijen yang mumpuni.
Penilaian tersebut disampaikan pengamat intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati. Susaningtyas pun menilai Sjafrie paling layak menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
“Beliau juga juga belum terlalu lama meninggalkan TNI dan cukup menguasai strategi membangun industri pertahanan,” ungkap Susaningtyas, Rabu (5/11/2014).
Terkait kritik yang dilontarkan jurnalis investigasi, Allan Nairn, bahwa Sjafrie terlibat kasus pelanggaran HAM, Susaningtyas menepis hal itu.
“Kita jangan terpengaruh Allan yang entah apa kepentinggannya,” tegas Nuning, begitu Susaningtyas disapa, sambil mengatakan bahwa Sjafrie tidak terbukti terlibat kasus pelanggaran HAM.
Sebelumnya jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, mengatakan Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dinilai tidak layak menjadi Kepala BIN.
Allan menilai, As’ad Ali dan Sjafri Sjamsoeddin terlibat dalam kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu yang belum terselesaikan hingga kini.
“Keduanya terlibat pembunuhan terhadap warga sipil,” kata Allan setelah memberikan keterangan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Senin (3/11/2014).
Allan mengungkapkan bahwa mantan Wakil Kepala BIN As’ad Ali pernah mengakui bertanggung jawab atas kematian aktivis HAM Munir, lantaran As’ad saat itu memegang komando nomor dua di BIN. Cerita ini muncul dalam wawancara yang dilakukan Allan kepada As’ad.
“Langsung di bawah A.M. Hendropriyono,” kata Allan.
Allan mengatakan investigasi yang dilakukan kepolisian, tim pencari fakta pembunuhan Munir, serta aktivis hak asasi manusia yang mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menunjukkan banyaknya bukti spesifik atas peran As’ad.
Sementara, kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Sjafrie, ungkap Allan, mantan Wakil Menteri Pertahanan itu terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa di Semanggi pada 1998, operasi militer di Aceh, dan pembunuhan massal di Timor Timur pada 1999.
Allan mengatakan, kalau Jokowi bisa menolak orang yang terkait dengan korupsi yang disebut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, “Bagaimana dia bisa menerima calon yang terkait kejahatan lebih buruk lagi, yakni pembunuhan orang sipil?”
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Tedjo Edhy Purdijatno mengaku daftar calon kepala Badan Intelijen Negara mengerucut pada empat nama, yaitu Sjafrie Sjamsoeddin, Sutiyoso, As’ad Said Ali, dan TB Hasanuddin.
“Yang menguat memang tiga nama ini. Tapi bisa saja hilang semua, lalu muncul yang lain lagi,” kata Tedjo.
Sebagaimana diketahui, nama Allan Nairn sempat menarik perhatian publik ketika pada Juni lalu mengungkapkan wawancara off the record dengan Prabowo Subianto di blognya. Saat itu Prabowo sedang maju sebagai kandidat presiden rival Joko Widodo. (*)