bidik.co — Tidak semua anggota DPR dari partai pengusung Jokowi-JK mendukung rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Effendi Simbolon, termasuk anggota DPR dari PDI Perjuangan yang lantang menolak rencana tersebut.
“Saya menyatakan ini sebagai anggota dewan. Saya menyampaikan karena rencana pemerintah menaikkan BBM bersubsidi dengan merelokasi ke sektor produktif, dan saya belum melihat adanya langkah konkrit untuk penanganan di sektor energi,” kritiknya di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Ketua DPP PDIP itu berpendapat, pemerintah tidak boleh meniadakan persoalan utama, yaitu energi. Pemerintahan Jokowi harus fokus terlebih dahulu menangani sektor energi.
“Kemudian kalau benar berfikir sektor energi lepas kepada mekanisme pasar, ini yang bertentangan. Dan juga saya kira bertentangan dengan platform PDIP selama ini,” tambahnya.
Simbolon juga menilai, rencana pemerintah Jokowi-JK yang akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bertentangan dengan platform yang sudah dibangun partai pendukungnya, PDIP, selama 10 tahun terakhir.
“Kami (PDIP) 10 tahun berada di posisi berseberangan dengan SBY yang tidak pernah melakukan proses penanganan pengelolaan energi dengan serius,” kata Effendi.
Pengelolaan energi yang dimaksud Effendi adalah proses diversifikasi, konfersi, pembangunan kilan, pemotongan tata niaga baik impor maupun ekspor, hingga pembubaran Petral.
“Pembiakan mafia tetap dibiarkan. Orang-orang yang melakukan kartel di bidang migas tetap dibiarkan,” lanjut Ketua DPP PDIP itu.
Menurutnya, jika kondisi sektor migas saat ini masih seperti era pemerintahan SBY maka pemerintah harus membenahi terlebih dahulu.
“Solusi tidak boleh hanya memindahkan beban yang tadi disubsidi oleh negara sebesar x rupiah kemudian dibebankan langsung ke 90 hingga 100 juta pengguna BBM bersubsidi,” tandasnya.
Sebaliknya, Simbolon justru memuji usulan pakar ekonomi Rizal Ramli untuk melakukan subsidi silang dan memisahkan jenis oktan yang dijual ke masyarakat.
“Usul Rizal Ramli itu sudah benar. Oktannya disesuaikan. Oktan murah itu dikasih ke kendaraan murah seperti bajaj, motor, dan sebagainya. Kalau kapasitas mesin 2000 ke atas masa sih mau beli oktan murah?” ungkap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR bidang energi ini, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (4/11/2014).
Memang, Rizal Ramli mengusulkan langkah sederhana tapi cerdas untuk menyelesaikan ruwetnya subsidi BBM. Caranya adalah lakukan subsidi silang. “Paksa” kalangan menengah atas membayar lebih mahal daripada rakyat kelompok bawah. Dengan demikian pemerintah justru meraih keuntungan dari pos anggaran ini.
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengusulkan agar BBM yang beredar di pasar dibagi jadi dua jenis. Jenis pertama, BBM rakyat yang beroktan 80-83 (saat ini jenis premium oktannya 88). Sebagai pembanding di Amerika, oktan general gasoline 86 dan di negara bagian Colorado 83. Jenis kedua, BBM super dengan oktan 92 untuk jenis pertamax dan 94 Pertamax Plus.
Nilai oktan berhubungan dengan “ketukan” (knocking) yang mempengaruhi kinerja mesin. Semakin rendah nilai oktan mesin akan lebih sering mengalami ketukan dan sebaliknya.
Perbedaan oktan yang tinggi antara BBM rakyat dan BBM super akan membuat pengendara mobil menengah atas takut menggunakan BBM rakyat. Mereka tidak ingin mesin mobilnya menggelitik karena akan mempercepat kerusakan mesin dan biaya perbaikannya lebih mahal. (*)
===