bidik.co — Banyak yang suka melakukan perjalanan ke mancanegara. Tapi, tidak banyak yang memilih melakukannya secara mandiri. Padahal, itu adalah cara ampuh untuk memperluas cakrawala, mendalamkan rasa, dan melatih diri berpikir terbuka. Di kelasnya yang dinamis, Prof Rhenald Kasali punya cara praktis dalam mendidik mahasiswa agar berani melanglang buana seorang diri.
Rasa cemas menghantui benak Aland Diknas Tanada, 21. Saat itu adalah kali pertama dia menyusuri negeri orang tanpa ditemani siapa pun. India, negeri dengan penduduk terbesar kedua di dunia, menjadi tujuannya. Begitu keluar dari Bandara Mumbai, dia disambut bau menyengat karena banyak sampah yang berserakan. Aland langsung membayangkan situasi tak mengenakkan yang akan berlangsung hingga sepekan ke depan.
Ternyata benar. Dia juga beberapa kali nyaris tertabrak karena lalu lintas yang semrawut. Dia juga sempat menjadi saksi seseorang yang tertabrak bus yang melaju kencang. Meskipun takut-takut, Aland harus menuntaskan perjalanannya di negeri itu.
Perjalanan Aland adalah tugas wajib kelas pemasaran internasional di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Kelas pada awal semester keenam tersebut diasuh Rhenald Kasali. Rhenald mengharuskan seluruh mahasiswa yang mengikuti kelasnya untuk menentukan sendiri negara mana yang akan dikunjungi. Harapannya, semua dapat memetik pengalaman berharga.
”Satu hal yang gue sadari setelah di sana. Gue harus pulang. Harus balik ke Indonesia. Baru kali ini gue bangga banget sama Indonesia,” ujar Aland saat ditemui pekan lalu.
Ananda Rafi, mahasiswa lainnya, punya cerita lebih seru. Dia nyaris dipukuli seorang lelaki saat melakukan perjalanan ke Dubai, Uni Emirat Arab. Menumpang Emirates Airlines, dengan tenang, Rafi yang berangkat pada 10 April 2014 duduk di kursi di dekat pasangan suami istri warga berdarah Arab. Anak pertama di antara tiga bersaudara itu pun langsung duduk di sebelah sang perempuan.
Tidak lama setelah itu, sang laki-laki berkata kepadanya dengan bahasa Inggris bercampur bahasa Arab yang tak dimengerti Rafi. Sambil menggerakkan tangan, sang lelaki yang memakai gamis itu memerintah Rafi untuk pindah tempat duduk. Karena merasa tempat duduknya sudah sesuai dengan yang tertera di boarding pass, tentu saja Rafi menolak.
”Lalu, tiba-tiba dia bilang, eh you go there. Wife sleep. Lah gue makin gak ngerti. Istrinya emang lagi tidur sebelah gue,” ujarnya.
Rafi pun kemudian membalas dengan berkata bahwa istrinya memang sedang tidur. Pembicaraan keduanya terus berlanjut tanpa ada titik temu. Sang suami pun sampai berdiri dan marah bukan kepalang. Lalu, seorang pramugari menghampiri keduanya. Sang pramugari berusaha berkomunikasi dengan orang Arab tersebut.
Ternyata, di budaya mereka tidak diperbolehkan seseorang untuk duduk barsama perempuan bersuami seperti yang dilakukan Rafi. ”Untung saja, gue nggak digebukin di pesawat,” keluhnya sambil meringis.
Rafi pun akhirnya pindah tempat duduk hingga mendarat di Dubai. ”Kalau tidak pergi sendiri seperti ini, mungkin saya tidak akan pernah tahu. Bener-bener deh pengalaman ini,” katanya.
Lain Rafi, lain pula cerita dara cantik kelahiran 21 tahun lalu, Ragil Caitra Larasati. Gadis mungil itu seperti tidak punya hambatan untuk dapat terbang ke Islandia. Ragil memang beruntung karena bisa berkunjung ke negeri yang disebut-sebut sebagai salah satu tempat paling membahagiakan itu. ”Mungkin karena itu menjadi impian saya sejak SMA. Jadi, semuanya terasa menyenangkan,” tuturnya.
Ragil bahkan sengaja masuk kelas Rhenald untuk bisa memenuhi impiannya pergi ke Islandia. Dia pun menyiapkan dengan matang. Perjalanan selama 31 jam pun terbayar dengan lelehan salju yang turun menyambutnya dengan ceria. Ragil menjadi mahasiswa terlama yang menyelesaikan perjalanan ke luar negeri.
Selama sebelas hari dia memanfaatkan segala kesempatan untuk menikmati keunikan Islandia. Misalnya, cuaca yang tidak pernah bisa diprediksi. Siang cerah, sore lalu tiba-tiba hujan, bisa pula turun salju, bahkan hujan batu. Kemudian, tur ke beberapa daerah wisata, termasuk kediaman Presiden Islandia.
Tak ketinggalan, momen yang paling membuatnya bahagia adalah menonton konser Bjork, penyanyi yang juga membuatnya terobsesi mengunjungi Islandia sejak SMA itu. Ragil mengaku sangat bahagia begitu mendengar sang idola melantunkan lagu-lagu kesayangannya. ”Rasanya seperti mimpi,” ungkap dia.
Penggalan cerita dan pengalaman para mahasiswa tersebut tertuang dalam buku 30 Paspor di Kelas Profesor. Kisah-kisah di kelas Rhenald Kasali tersebut terwujud dari inspirasi di awal tahun lalu. Kala itu Rhenald meminta 30 mahasiswa di kelasnya membuat paspor.
Sang profesor pun hanya memberikan waktu hingga pertemuan selanjutnya kepada para mahasiswa untuk membawa paspor mereka. Kelas menjadi gaduh karena memang hanya 5 persen dari penghuni kelas yang memiliki paspor.
Kegaduhan kelas Selasa pagi itu pun berlanjut di pekan berikutnya. Kala itu sang profesor meminta setiap anak untuk menentukan negara tujuan yang harus mereka kunjungi. Meskipun sudah familier bahwa di kelas Rhenald itu wajib untuk melancong ke luar negeri, kali ini berbeda. Sebab, acara lawatan ke mancanegara tersebut sebelumnya biasa dilakukan bersama-sama. Tapi, kali ini tidak. Sang profesor mewajibkan satu orang pergi ke satu negara.
”Saya belajar dari pengalaman sebelumnya. Saat itu kita satu kelas ke Thailand. Saat saya sedang sibuk berpikir harus dibawa ke mana bus dan anak-anak ini, eh mereka justru tidur. Mereka hanya pasif menjadi passengers (penumpang),” ujar Rhenald.
Melihat para mahasiswa tertidur pulas, Rhenald hanya terdiam. Dia menyadari bahwa misinya untuk menunjukkan dunia di luar zona nyaman selama ini belum sepenuhnya tercapai. Kekhawatiran pun kemudian menyerbu dia. Bagaimana jika nanti mereka tidak mampu menghadapi dunia yang sebenarnya karena terlalu sering bergantung.
”Sebagai pengajar, orang tua, tentu saya punya kewajiban untuk bisa membimbing mereka. Saya tidak mau mereka hanya menjadi passenger yang pasrah ke mana akan dibawa,” katanya.
Dia mengatakan, ide ”nyasar” di luar negeri itu juga banyak mendapat tentangan. Bukan hanya dari orang tua para mahasiswa, melainkan juga dari rekan sejawatnya. Alasannya, 19 mahasiswi dan 11 mahasiswa itu harus membolos mata kuliah lain saat melaksanakan tugas nyasar mereka.
”Bahkan, ada orang tua yang melapor ke pimpinan fakultas karena khawatir pada anak-anak mereka yang nyasar dan mengalami hal-hal di luar dugaan,” katanya.
Namun, menurut Rhenald, semuanya terbayar dengan cerita-cerita dan refleksi yang disampaikan 30 mahasiswanya. Dia dengan bangga mengatakan bahwa anak-anaknya itu telah siap menghadapi dunia. Bukan dengan bermental penumpang. Namun, berani menjadi pemimpin. (*)