bidik.co — Pakar ekonomi, Fadhil Hasan menilai, dalam 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintah berhasil mengubah pondasi kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Fadhil mencontohkan, Presiden Jokowi berani mengambil kebijakan tak populis penurunan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
“Dengan itu, kemudian ditambah satu keberuntungan harga minyak dunia itu sendiri yang turun, sehingga tersedia ruang fiskal cukup besar di mana dia bisa menjalankan agenda ekonominya yang menghadirkan peranan pemerintah,” ujar Fadhil dalam diskusi Perspektif Indonesia yang disiarkan langsung oleh smartfm, Sabtu pagi (31/1/2015).
Contoh kedua, terkait dengan penyederhanaan iklim investasi. Dalam konteks ini, Jokowi-JK berhasil mengubah tradisi pelayanan yang berbelit-belit menjadi pelayanan terpadu satu atap. Ini memberikan pondasi cukup kuat bagi berjalannya agenda ekonomi pemerintah di masa mendatang.
“Tapi dalam konteks jangka menengah dan panjang, saya belum melihat perencanaan ekonomi yang terpadu terkoordinasi antara satu kementerian dan kementerian lain,” ujar Fadhil.
“Dalam 100 hari cukup bagus, tapi ke depannya, di tengah suasana politik yang tak kondusif, apakah dia mampu menjalankan agenda ekonominya yang besar?” tambahnya.
Dalam kesempatan diskusi itu dia juga mengingatkan pemerintahan Jokowi untuk tidak menihilkan apa yang telah dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena banyak juga kinerja pemerintahannya yang baik untuk diteruskan.
Karena itu, lanjut Fadhil, terlalu dini menilai efektivitas dan efisiensi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam persepektif ekonomi di masa 100 hari pemerintahannya.
“Kalau dari perspektif ekonomi terlalu dini menilai efektivitas dan efisiensi pemerintahan Jokowi ini dalam melaksanakan agenda ekonomi yang pernah dijanjikan semasa kampaye. Kebijakan itu butuh waktu cukup lama untuk bisa dirasakan masyarakat,” kata Fadhil.
Namun, jika dilihat dari program-programnya di masa kampanye Pilpres 2014 lalu, lanjut Fadhil, Jokowi sebenarnya menawarkan gagasan besar yang amat beda dengan paradigma kebijakan ekonomi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono (2009-2014).
Menurut Fadhil, gagasan besar itu mulai terlihat di awal masa kerja pemerintahannya.
“Dalam konteks ini saya melihat bahwa dalam 100 hari pertama Pak Jokowi sudah berhasil mengubah pondasi daripada apa yang jadi kebijakan pemerintahan sebelumnya,” katanya.
Sementara sebelumnya Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan menilai, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi- JK nampaknya belum memberikan perubahan yang siginifikan di berbagai hal, terutama di bidang ekonomi.
Pemerintah dinilai hanya rajin melakukan propaganda penghematan anggaran tanpa ada itikad baik untuk memperbaiki keadaan.
“Pemerintah nampaknya hanya getol cuma propaganda untuk kepentingan penghematan, namun dalam nota keuangan RAPBN perubahan 2015, pemerintah memangkas habis BBM jenis prenium,” kata Dani kepada wartawan di Jakarta, Rabu (28/1/2015).
Alasan pemerintah dalam subsisdi BBM telah menjadi beban APBN dan sekaligus membatasi keuangan negara untuk membiayai kegiatan lain yang lebih produktif.
Anehnya pemerintah tidak menganggap pembayaran utang sebagai komponen yang membebani anggaran dan membatasi kemampuan negara untuk menjalankan kewajiban konstitusi, dan beban pembayaran utang tersebut akan terus mengerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hingga tahun 2030.
“Padahal beban pemerintah dalam membayar utang termasuk bunga obligasi rekapitalisasi dari bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI),” jelasnya.
Hingga akhir tahun 2012, Dani membeberkan pemerintah harus mengalokasikan dari APBN sekitar Rp 70 hingga 80 triliun setiap tahunnya untuk membayar utang tersebut. (*)