bidik.co — Di dalam tubuh DPR RI kini terdapat 2 kubu yakni KMP dan KIH. Kemudian dengan total koalisi partai lebih banyak, KMP berhasil menjadi sosok mayoritas di dalam DPR. Alhasil, Presiden Joko Widodo yang partainya yakni PDIP masuk di kubu KIH, tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota di DPR.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menilai tidak menjadi masalah apabila Jokowi tidak mendapat dukungan mayoritas di DPR. Menurutnya, kondisi Jokowi mirip dengan kondisi Presiden Amerika Serikat Barrack Obama.
“Jadi tidak apa-apa presiden tidak mendapat dukungan mayoritas di parlemen, persis seperti Obama sekarang, sekarang Obama tidak mendapat dukungan mayoritas karena baik senat maupun DPR dikuasai oleh Partai Republik,” ujar Jimly.
Hal itu ia sampaikan usai membuka acara Seminar Nasional Kebangsaan di Hotel Bumi Minang, Padang, Sumatera Barat, Jumat (21/11/2014). Jimly meminta Pemerintahan Jokowi belajar pengalaman dari negara lain terkait permasalahan tersebut.
“Yang penting nanti semua tokoh-tokoh partai akan berlomba-lomba memihak rakyat, dan anggota DPR sama-sama berlomba memperjuangkan kepentingan rakyat, walaupun keputusannya agak berbeda dengan pimpinan partainya masing-masing,” jelasnya.
Jimly menegaskan, untuk seorang anggota DPR tidak diizinkan apabila diberhentikan lantaran hanya berbeda pendapat dengan pimpinan partainya.
“Kalau itu terjadi maka nanti presiden mayoritas tidak dari partainya di pemerintahan dia tetap akan aman. Dalam proses pengambilan keputusan semua kekuatan politik akan berlomba-lomba memperjuangkan aspirasi rakyat, sehingga yang diuntungkan adalah rakyat,” terangnya.
Sementara itu sebelumnya, pengamat politik Indonesia Parliamentary Center (IPC) Sulastio mengungkapkan, koalisi yang dibangun oleh Jokowi-JK memang seyogyanya tidak hanya berfokus kepada pemerintahan, melainkan juga bagaimana mendapatkan dukungan di parlemen.
“Komitmen dukungan itu tidak hanya berlaku di eksekutif,” kata Sulastio di Jakarta, Senin (25/8/2014).
Menurutnya, jika tidak ada dukungan di parlemen, bisa saja kebijakan Jokowi-JK, termasuk juga kebijakan anggaran akan tersandera. Akibatnya, setiap Jokowi mengeluarkan kebijakan akan mendapatkan tentangan yang sangat keras dari parlemen.
Dirinya berpendapat, bukan tidak mungkin parlemen akan membuat pansus tiap kali Jokowi menelurkan kebijakannya. “Contohnya BBM. Kalau parlemen tidak mencapai kata sepakat akan repot,” ucapnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan Jokowi tetap melakukan lobby untuk mendapatkan dukungan di parlemen. Dukungan tersebut harus lebih luas dibanding dukungan partai yang tergabung dalam koalisi tanpa syarat pendukung Jokowi-JK yang ada pada saat ini.
“Selama ada prinsip ada prinsip check and balance, mau tidak mau hal itu harus dilakukan,” jelasnya.
Dia menganggap, kemungkinan bergabungnya partai-partai lain masih terbuka. Sebab, dukungan partai politik di parlemen lebih bersifat dukungan pragmatis. Apalagi, partai di Indonesia tidak terbiasa untuk mandiri dan berseberangan dengan pemerintah.
“Kenapa akan merapat? Karena tradisi oposisi di kita tidak berjalan,” bebernya.
Jokowi sendiri tidak menampik bahwa pemerintahannya membutuhkan dukungan politik dari partai-partai yang ada di parlemen. Namun, dia tidak menganggap masalah jika dukungan politik tersebut tidak berhasil didapatkan.
“Tentu saja yang namanya dukungan parlemen, dukungan politik itu diperlukan. Tetapi apabila memungkinkan. Artinya memang kalau ada tambahan. Tapi kalau tidak ada kita akan jalan apa adanya aja,” katanya.
Dia menganggap, dukungan politik mayoritas di DPR tidaklah menjadi jaminan tidak akan lagi ada ganjalan di parlemen. “Sekarang kita tambah 70 persen, tetapi juga pengalaman membuktikan juga tidak selalu 70 persen itu bisa menyelesaikan masalah di parlemen kan,” jelasnya. (*)