bidik.co — Presiden Joko Widodo (Jokowi) membantah penundaan eksekusi mati dua terpidana narkoba warga negara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan terjadi karena komplain yang dilayangkan pemerintah Australia.
“Tidak ada. Ini kedaulatan hukum Indonesia,” ujar Jokowi menegaskan di depan Ruang Garuda, Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (20/2/2015).
Menurut Jokowi, penundaan proses eksekusi terjadi semata-mata karena permasalahan teknis yang terjadi di lapangan. “Ini saya kira masalah teknis, masalah lapangan. Tanyakan ke Jaksa Agung,” kata dia.
Pihak Kejaksaan Agung sendiri di pihak lain sudah menyatakan adanya penundaan terkait pemindahaan terpidana mati, yang rencana awalnya dijadwalkan selesai pada pekan ini. Kepala Pusat penerangan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana mengatakan penundaan pemindahan tersebut disebabkan untuk memberikan waktu lebih panjang bagi keluarga bertemu para terpidana.
Terkait pernyataan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang mengatakan Indonesia berutang pada Australia dan mengancam eksekusi akan berdampak pada hubungan diplomatik kedua negara, Jokowi mengaku telah memperoleh penjelasan.
“Kemarin (pemerintah Australia) sudah telepon ke Pak Wapres (Jusuf Kalla). Sudah dijelaskan bahwa maksudnya bukan itu. Sebetulnya mau kita sampaikan sesuatu, tapi karena sudah dijelaskan bahwa maksudnya bukan itu ya tidak jadi,” ujar Jokowi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berada di samping Jokowi langsung menjelaskan hasil komunikasinya dengan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop beberapa saat lalu.
“Jadi Menlu Bishop menjelaskan salah pengertian itu. Dia mengatakan sejak dulu hubungan Indonesia dan Australia bagus, termasuk pada waktu tsunami itu partisipasi Australia baik. Ini dimaksudkan bahwa Australia mau melanjutkan kerjasama itu, baik kerjasama dalam bidang ekonomi, pertahanan, dan juga sama-sama memerangi narkoba,” kata dia.
Oleh sebab itu, Kalla menegaskan bahwa Indonesia dan Australia sama-sama memiliki komitmen memerangi narkoba. “Mereka (pemerintah Australia) mau mengerti bahwa hukum Indonesia adalah hukum Indonesia yang harus dilakukan seperti itu,” ujar Kalla.
Selain itu, kata Kalla, bukan Presiden yang memutuskan hukuman seseorang, melainkan mahkamah di pengadilan. “Jangan lupa, bukan Presiden yang memutuskan seperti itu. Ini mahkamah pengadilan yang independen dan obyektif. Jadi, ini obyektivitas pengadilan, bukan Presiden. Jadi jangan tanya pemerintah,” kata dia.
Berbagai pihak pun menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Indonesia, bahwa pengedar narkoba pantas diganjar hukuman berat melihat dampak yang terjadi terhadap korban. Namun bagi Kaili Behan, seorang perempuan Australia yang anggota keluarganya turut menjadi korban narkoba, hukuman penjara seumur hidup seharusnya sudah cukup diberikan bagi para pengedar tersebut.
Adam Behan, meninggal dunia saat merayakan ulang tahunnya yang ke-23 pada 17 Februari, 23 tahun silam. Kakak kandung Kaili Behan tersebut meregang nyawa akibat overdosis heroin.
Dalam tulisannya yang dimuat di Sydney Morning Herald pada Kamis (19/2/2015), Behan mengatakan bahwa kakaknya dikenal sebagai seorang yang anti-narkoba. Namun, tindakan bodoh beberapa orang dalam sebuah pesta yang dihadiri kakaknya tersebut justru membuatnya terpaksa harus mengembuskan nafas.
“Beberapa orang bodoh menganggap akan menyenangkan bila abang saya dikerjai. Saya yakin mereka tidak bermaksud membunuhnya. Namun, Adam tidak dapat membela dirinya sendiri ketika dicekoki koktail dengan campuran obat resep dan alkohol. Saat belum sadarkan diri, mereka mencekoki Adam dengan campuran heroin dan Oxycodone,” tutur Behan.
Obat-obatan tersebut bereaksi dalam tubuh Adam dan memperlambat detak jantungnya. Dalam gelap malam, Adam menyusuri pantai, menuju ke rumahnya. Keesokan paginya, seorang wanita yang sedang membawa anjingnya berjalan-jalan, menemukan Adam terkapar. Adam tidak dapat diselamatkan.
Sebagai seorang adik berusia belia, kala itu Behan mengaku tidak paham mengapa keempat pelaku kejahatan tersebut tak mendapatkan hukuman setimpal. Kematian ini tak pelak membawa dampak besar bagi kehidupan keluarga Behan.
“Sangat lelah melihat ibu saya lambat laun menjadi peminum dan memakai narkoba hingga meninggal karena merasa bersalah meninggalkan Adam sendirian malam itu,” tutur Behan.
Berbeda dengan ibunya, Behan memilih cara lain untuk mengobati luka hatinya. Ia mengaku sering berkumpul dengan sesama orang yang anggota keluarganya juga direnggut nyawanya oleh narkoba.
“Banyak dari kami yang merasa marah pada lingkungan yang membiarkan peredaran narkoba berkembang dan para pengedar menjadi kaya di balik semua ini. Tentu saja kami marah dengan komplotan seperti Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Kami berhak merasa marah. Selama bertahun-tahun, saat berbicara mengenai Bali Nine, itu menimbulkan kemarahan,” ungkap Behan.
Kendati demikian, Behan menganggap dalam lingkungan masyarakat yang terus berevolusi, tidak perlu lagi ada hukuman mati apalagi jika pelaku sudah berusaha berubah.
“Kita harus terus berusaha mengembangkan sistem peradilan kriminal yang rehabilitatif melakukan restorasi yang menyediakan mekanisme tertentu bagi mereka yang mau menebus kejahatan mereka dan menjadi warga negara yang lebih baik,” katanya.
Menurut Behan, petugas penjara Kerobokan tempat Sukumaran dan Chan ditahan telah mengakui bahwa kedua warga Australia tersebut menjadi teladan di lingkungan tahanan karena berkelakuan baik.
Lebih jauh lagi, Behan menganggap bahwa dibui seumur hidup sudah cukup menghukum Chan dan Sukumaran.
“Hukuman tersebut adalah mereka harus menghabiskan hidup mereka di dalam penjara, jauh dari keluarga mereka, di sebuah negara berkembang yang kurang nyaman, bahkan toilet dan keamanan tidak terjamin. Bagi saya, itu cukup,” ujarnya.
Behan menegaskan bahwa dengan menghilangkan nyawa pengedar narkoba tidak akan meredam kesedihan yang ia alami akibat kehilangan Adam.
“Saya tidak perlu darah mereka di tangan saya untuk mengurangi kemarahan atas apa yang mereka lakukan terhadap abang saya, Adam,” ujarnya.
Dengan penjelasan panjang lebar tersebut, Behan kembali menegaskan bahwa pihak yang berdiri atas nama keluarga korban untuk membela hukuman mati bagi pengedar narkoba sama sekali tidak mewakili perasaannya.
“Saya lelah tidur di malam hari dan harus bangun pada pagi harinya dengan sedih karena saya membaca sesuatu yang buruk mengenai kepentingan untuk membunuh kedua orang ini,” kata Behan.
Menutup penuturannya, Behan menulis, “Bagi saya, saya memilih keluarga Chan dan Sukumaran tidak harus menderita karena kehilangan orang terkasih mereka ketimbang saya mengisi senjata dan berdiri dan menembak tepat di jantung mereka.”
Chan dan Sukumaran adalah anggota kelompok yang disebut sebagai Bali Nine. Mereka dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005 karena berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia.
Permohonan grasi Chan dan Sukumaran ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Sejak saat itu, Australia mengerahkan segala daya upaya untuk mencegah eksekusi mati terhadap kedua warganya tersebut. Namun, Indonesia tetap pada pendiriannya.
Sukumaran dan Chan akan dieksekusi bersama sepuluh terpidana mati dalam kasus narkoba lainnya yang merupakan warga Brasil, Perancis, Ghana, Nigeria, dan Filipina, serta empat warga negara Indonesia.
Direncanakan sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo akan melakukan eksekusi mati tahap dua pada akhir Februari 2015. Untuk lokasi, Prasetyo pun mengisyaratkan akan kembali melakukannya di Nusa Kambangan. (*)