bidik.co — Di tengah protes eksekusi terpidana mati dua warga Australia, mungkin tak banyak pemberitaan yang mengarah kepada seorang penyelundup heroin asal Indonesia, Kristito Mandagi, yang kini mendekam dalam tahanan di Australia, dan akan mampu mengajukan pembebasan bersyarat dalam dua tahun ke depan.
Sementara permohonan grasi Chan dan Sukumaran ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Sejak saat itu, Australia mengerahkan segala daya upaya untuk mencegah eksekusi mati terhadap kedua warganya tersebut. Namun, Indonesia tetap pada pendiriannya.
Sukumaran dan Chan akan dieksekusi bersama sepuluh terpidana mati dalam kasus narkoba lainnya yang merupakan warga Brasil, Perancis, Ghana, Nigeria, dan Filipina, serta empat warga negara Indonesia.
Direncanakan sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo akan melakukan eksekusi mati tahap dua pada akhir Februari 2015. Untuk lokasi, Prasetyo pun mengisyaratkan akan kembali melakukannya di Nusa Kambangan.
Sama seperti dua warga Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, Kristito adalah salah satu penyelundup narkoba yang tertangkap basah ketika tengah mencoba mengimpor heroin. Bedanya, Kristito mencoba menyelundupkan heroin dari Indonesia ke Australia.
Diberitakan media Australia, Sydney Morning Herald, heroin yang coba diselundupkan Kristito dalam jumlah yang sangat besar.
Jika Sukumaran dan Chan mencoba menyelundupkan 8kg heroin, Kristito, bersama dengan Saud Siregar dan Ismunandar merupakan kapten, kepala dan teknisi kapal Uniana yang membawa 390 kilogram paket narkoba dan sepucuk pistol Glock ke sebuah pantai di dekat Pelabuhan Macquarie di New South Wales pada 1998 silam.
Paket narkoba sebanyak itu diseludupkan dalam 31 tas olahraga merek terkenal. Penangkapan mereka melibatkan 76 petugas kepolisian, federal, bea cukai, dan polisi udara. Kala itu, kasus ini merupakan kasus penyeludupan terbesar yang berhasil digagalkan oleh kepolisian Australia.
Paket narkoba yang diseludupkan merupakan heroin murni yang jika ditimbang beratnya mencapai 252,3 kilogram. Heroin sebanyak itu bernilai A$400 sampai A$600 juta.
Penyelundupan ini juga terlihat sangat rapi dan terencana karena dibawa oleh kapal Uniana yang dimodifikasi khusus dengan tangki bahan bakar jarak jauh.
Namun, tak seperti Chan dan Sukumaran yang kini tengah menanti eksekusi mati, Kristito, Saud dan Ismunandar diperbolehkan untuk mengajukan bebas bersyarat dalam beberapa tahun mendatang.
Dalam wawancara eksklusif dengan Tempo pada tahun 2012, Kristito, Saud dan Ismunandar menyatakan mereka menjalani masa hukuman dan diperlakukan dengan baik selama dalam tahanan di Australia.
Dalam wawancara tersebut, Ismunandar menyebutkan dia dapat berolahraga di pusat kebugaran penjara Lithgow serta dapat bekerja dan menghasilkan uang sekitar A$40 seminggu.
“Ini adalah penyelundupan yang efisien dan terencana dan…Mandagi adalah tokoh penting,” kata Hakim Pengadilan Negeri New South Wales, Kenneth Shadbolt, ketika membacakan vonis Kristito pada tahun 2000.
“Ini adalah kejahatan dalam proporsi besar…salah satu tindak kriminal yang paling parah dalam bidangnya,” kata Shadbolt melanjutkan.
Kristito, Saud dan Ismunandar kemudian mengaku tidak bersalah, namun Kristito dijatuhi hukuman 25 tahun penjara, dan dapat mengajukan pembebasan bersyarat setelah masa hukuman habis.
Sementara, Saud dan Ismunandar dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, sama seperti hukuman yang dijatuhi kepada Schapelle Corby, penyelundup 4,7 kilogram ganja, asal Gold Coast, Queensland, Australia, yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 8 Oktober 2004.
Sementara, delapan warga Indonesia yang tertangkap di kapal Uniana tidak diadili dan dikirim pulang ke Indonesia karena polisi tidak dapat membuktikan bahwa mereka tahu tentang penyelundupan tersebut.
Kristito pun mengajukan banding dan diberikan potongan enam tahun dari total masa tahanannya.
Menurut undang-undang Australia, Kristito akan memenuhi syarat untuk mengajukan pembebasan bersyarat pada bulan Oktober 2017. Sementara Saud dan Ismunandar dapat mengajukan pembebasan bersyarat setahun kemudian.
Selama menjalani masa tahanan, ketiganya menerima kunjungan rutin dari pejabat konsuler Indonesia. Namun, pada tahun 2012, ketiganya mengeluhkan grasi yang diberikan kepada Corby oleh pemerintah Indoesia.
“Kalau saja pemerintah Indonesia dapat mendesak pemerintah Australia untuk mengampuni kami dan bukannya memotong hukuman Corby, maka saya sudah bebas,” kata Ismunandar dalam salah satu wawancara.
Pada Oktober 2013, Ismunandar mendapat kunjungan khusus dari mantan Kemenhumkam Amir Syamsuddin, yang tengah berkunjung ke Australia. Kala itu, Amir melakukan pertemuan terkait penyelundupan manusia dengan Jaksa Agung, George Brandis dan mantan menteri imigrasi Australia, Scott Morrison.
“Dia ingin mengekspresikan kemarahan dan kecemasan,” kata Amir kepada Fairfax Media usai menemui Ismanandar.
“Setiap kali dia melihat di televisi tentang pemberitaan sikap pemerintah Indonesia kepada Schapelle Corby, yang berujung pada pemotongan masa tahanan, dia selalu bertanya mengapa mereka tidak menerima perlakuan yang sama di Australia,” kata Amir.
Amir pun menjelaskan kepadanya bahwa sistem peradilan di Australia dan Indonesia berbeda. Pemberian grasi pun tak berlaku di Australia.
“Dengan lebih dari 300 kilogram heroin, dia akan menerima hukuman mati jika tertangkap di Indonesia, hukuman yang sangat berat,” kata Amir.
“Dan saya menjelaskan kepadanya bahwa angat sulit untuk menemukan perbandingan atas kasus ini, karena saya tahu pada kasus Bali Nine hanya beberapa kilogram yang diselundupkan,” kata Amir.
Tak seperti Ismunandar, Saud dan Kristito, warga Australia, Chan dan Sukumaran adalah anggota kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April 2005 karena kedapatan berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia. (*)