bidik.co — Pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly melakukan blunder di awal kepemimpinannya. Blunder tersebut berkaitan keputusan Kemenkumham yang mengesahkan Mukhtamar VIII PPP yang diselanggarakan kubu M Romahurmuziy di Surabaya.
Seharusnya, lanjut Rafly, Kemenkumham menunggu Partai Persatuan Pembangun (PPP) harus diselesaikan pada lingkup internal terlebih dahulu.
“Harusnya menunggu keputusan mahkamah partai politik,” kata Rafly usai diskusi di Hotwl Pan Pasific, Jakarta, Rabu (29/10/2014).
Dari segi hukum, Refly menilai Yasonna seharusnya mengambil sikap di tengah. Terlebih lagi, Yasona berasal dari kubu Koalisi Indonesia Hebat. “Sehingga apa yang dilakukan Kemenhuk dan HAM tidak akan dipercaya karena berasal dari satu pihak. Harusnya, dia tidak melakukan apa pun dulu,” kata Refly.
Refly berpendapat bahwa Yasonna seharusnya mengembalikan persoalan internal PPP ke mekanisme mahkamah partai yang ada di partai tersebut. Cara ini dianggap paling aman meski tidak sesuai tujuan politik. “Yang penting aman dulu. Kemenhuk dan HAM baru satu dua hari jabat, sudah lakukan blunder politik,” sindir Refly.
Konflik internal di PPP semakin memanas setelah kelompok pendukung Romy menggelar Muktamar VIII di Surabaya dan menetapkan Romy sebagai Ketua Umum PPP menggantikan Suryadharma Ali. Romy cs mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo, sementara kelompok Suryadharma mendukung Koalisi Merah Putih yang berada di luar pemerintahan.
Kubu Suryadharma akan menggelar muktamar pada 30 Oktober 2014. Mereka tetap berpedoman pada keputusan Makhamah PPP bahwa kepengurusan yang sah adalah hasil Muktamar 2011 dengan Suryadharma sebagai Ketua Umum dan Romy sebagai Sekretaris Jenderal. Kelompok pendukung Suryadharma tidak mengakui hasil muktamar di Surabaya yang mendaulat Romy sebagai Ketua Umum dan Ainur Rofiq sebagai Sekretaris Jenderal.
Konflik semakin runcing setelah Yasonna, yang baru dilantik sebagai Menhuk dan HAM, mengeluarkan surat keputusan bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah hasil muktamar yang dilakukan kubu Romy.
Jika saja Laoly menunggu keputusan mahkamah partai politik, maka seharusnya keputusan itulah yang harus diakomodasi.
“Tapi sepertinya dia terburu-buru, mungkin terkait penentuan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) atau lain sebagainya kita tidak paham,” jelasnya.
Ia menilai tindakan Menkumham adalah blunder politik. Dikatakannya pula keputusan Menkumham terkesan tak objektif. Apalagi Yasonna H Laoly berlatar belakang sebagai politisi.
“Inilah pentingnya pos-pos di bidang hukum diisi oleh orang-orang netral yang tak mempunyai kepentingan pribadi atau golongan. Kalau tidak, akan terjadi hal-hal seperti ini,” katanya.
Refly mengatakan, UU Partai Politik jelas mengatur bahwa masalah internal harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum perubahan kepengurusan bisa disahkan. Karena itu, keputusan Yassona bertentangan dengan undang-undang.
Namu Refly melihat kesalahan yang sama juga dilakukan pimpinan DPR RI. Pasalnya, mereka memberi pengakuan terhadap pergantian pimpinan fraksi yang diajukan oleh kubu Suryadharma Ali.
Menurutnya, pimpinan DPR harusnya juga menunggu konflik internal selesai sebelum mengakui keputusan yang dibuat salah satu kubu. “Jadi dua-duanya salah. Kalau pimpinan DPR saya anggap salah, kalau Menkum HAM, selain keliru, salah, juga blunder,” pungkas Refly.
Pada Selasa (28/10/2014) Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM), Yasonna H. Laoly membenarkan telah mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya yang menetapkan Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP.
Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-07.AH.11.01 TAHUN 2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan tersebut ditandatangani pukul 13.00 WIB. (ai)