bidik.co – Kekerasan yang terjadi di lingkungan SD di Bukittinggi, Sumatera Barat, menghebohkan dunia maya karena aksinya direkam dan tersebar melalui beberapa situs. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun meminta Kementerian Kominfo memblokir video itu dari situs-situs tersebut.
Video yang menunjukkan aksi kekerasan siswa-siswi SD diunggah ke Facebook, situs Youtube, dan jejaring sosial lainnya. Dalam video tersebut, seorang siswi SD dijadikan sasaran pemukulan dan tendangan teman-temannya. Meski begitu, korban yang merupakan siswi berjilbab itu tidak berusaha melawan dan hanya berupaya menangkis serangan.
“Kita minta (Kementerian) Kominfo untuk mem-block (video) itu, dan tidak menyebarluaskan. Anak yang berhadapan dengan hukum, yang menjadi korban, maupun pelaku harus dirahasiakan dan tidak di-blow up,” ujar Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh, Minggu (12/10/2014).
Menurut Asrorun, jika anak yang terlibat dalam kasus dijadikan pusat perhatian maka akibatnya akan berdampak buruk. Hal tersebut menyangkut labeling, stigma buruk terhadap si anak, maupun kepada sekolahnya sendiri.
“UU menjamin perlindungan itu. Poin pentingnya adalah kita minta Kominfo segera block video itu. Mencegah ini beredar luas,” kata Asrorun.
Kejadian kekerasan ini dipicu karena hinaan korban pemukulan terhadap orangtua salah satu temannya. Dalam aksi brutal itu, ada 7 siswa yang memukul dan menendangi korban secara bergantian di sudut ruang kelas salah satu SD di Bukittinggi. Aksi tersebut menjadi tontonan teman-teman sekelasnya dan direkam melalui HP salah seorang siswa.
Selanjutnya KPAI menyatakan orangtua memiliki tanggung jawab terkait kontrol pemberian fasilitas terhadap anak.
“Orang tua punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi, kontrol termasuk memberikan fasilitas sesuai tumbuh kembang dan yang tepat terhadap proses perkembangan, tepat di dalam pengawasan,” ujar Ni’am.
Kekerasan yang dilakukan oleh 7 siswa salah satu SD swasta di Bukittinggi terhadap seorang temannya direkam menggunakan HP orang tua yang dibawa salah seorang siswa lainnya tanpa izin. Ini pun menimbulkan keprihatinan KPAI.
Menurut Asrorun, pemberian fasilitas HP kepada anak tidak bisa sembarangan dilakukan oleh orang tua.
“Lihat urgensinya. Misal kalau dibawakan untuk memberi (informasi) jemputan. Seiring dengan tingkat kebutuhan dan urgensi, fasilitas harus disesuaikan dengan kemampuan anak yang secara sehat menggunakan. Harus ada pemahaman dalam penggunaan, jangan sampai diberikan fasilitas tapi disalahgunanakan,” kata Asrorun.
Mengenai kasus kekerasan ini, KPAI pun meminta agar pihak sekolah memberi perhatian khusus. Perlunya awareness dari segala pihak, disebut Asrorun, menjadi poin penting dalam menangani permasalahan seperti ini.
“Sekolah perlu lebih memberikan perhatian, awareness terkait dengan pola relasi dan juga pergaulan baik saat pembelajaran maupun di luar jam pelajaran. Perlu ada edukasi, ada kontrol dan juga menumbuhkan mekanisme pencegahan se-dini mubngkin terhadap potensi tindak kekerasan di sekolah. Baik itu oleh guru, orang tua, maupun oleh sesama peserta didik,” Asrorun menjelaskan.
KPAI berencana melakukan pemantauan terhadap kasus ini. Jika kekerasan yang videonya tersebar lewat Facebook, situs Youtube, dan jejaring sosial lainnya ini akan dibawa ke ranah hukum, Asrorun menyatakan maka pihak yang wajib bertanggung jawab adalah wali/orang tua pelaku.
“Pelaku adalah anak-anak yang secara hukum belum bisa dimintai pertanggung jawaban. Di situ yang akan menjadi penanggungjawab kalau ada masalah hukum walinya. Anak di bawah 12 tahun belum mencapai usia pertanggung jawaban hukum,” pungkas Asrorun. (ai)