Nurdin Sibaweh
(Pemerhari Sepakbola Dunia)
bidik.co — Usai sudah Piala Dunia 2018 dan Perancis menjadi kampium sepak bola dunia setelah menggusur Kroasia dalam laga final. Banyak yang kagum dan memuji Kroasia sebagai negara yang berpenduduk 4,22 juta (Data World Bank 2016) itu dapat maju ke laga final kompetisi paling bergengsi didunia.
Harapan Kroasia menjadi juara juga menjadi hasrat sebagian penggila sepakbola karena berbagai alasan, antara lain melihat cara bermain yang kuat dilini tengah dengan duet maut Modric-Rakitic. Dukungan terhadap Kroasia itu ada juga yang disebabkan harapan lahirnya juara baru dari negara dengan luas wilayah 56,594 KM2 tersebut. Semangat perlawanan itulah yang nampaknya ditangkap oleh publik bola melihat kerja keras Kroasia menghantam negara-negara ‘kuasa bola’ dalam perjananannya menuju final, seperti Nigeria, Denmark, Argentina, dan Inggris.
Final Piala Dunia 2018 ini, Kroasia bersua dengan Perancis yang dikomandoi Didier Deschamps, pelatih berpengalaman, kalem, kaya teori dan strategi dan pernah membawa Perancis menjadi juara dunia saat dia menjadi pemain di tahun 1998. Namun yang lebih menarik, Deschamps membawa sebagian pasukannya, kalau kata bang haji -darah muda. Hal itu ditegaskan dengan MBappe yang dinobatkan sebagai pemain muda terbaik.
Menyaksikan duel Perancis vs Kroasia di Final Piala Dunia 2018 ini, dari awal memang susah berharap adanya sajian indah seni bermain bola, karena negara-negara Eropa cenderung memiliki ‘kuasa’ memasukkan bola ke gawang lawan tanpa seni bermain yang elok. Negara-negara eropa yang memiliki seni bola saat ini antara lain ada di Spanyol, Jerman dan Belanda. Namun ketiga negara itu di Piala Dunia 2018 ini seperti hilang dari peredaran, terlebih Belanda yang sudah gugur di awal.
Entah ada apa dengan sepakbola hari ini? Mungkin seiring sepakbola sebagai industri yang subur di Eropa, ikut menggerus seni bermain bola yang dimiliki negara-negara Amerika dan Afrika. Dengan tersingkirnya negara-negara di kedua benua ini dalam pentas Final Piala Dunia 2018, final Piala Dunia kurang mampu menyajikan keindahan dan filosofi permainan sepakbola. Namun mungkin juga kiblat sepakbola hari ini adalah Eropa dengan sajian yang hanya cukup ditonton, meski Kroasia berusaha untuk menghadirkan sisi-sisi keindahan itu.
Terlepas dari itu semua, ada dua hal yang kurang menarik ditonton dan jelas bukanlah suatu keindahan dalam permainan yaitu ketika Madzukic melakukan gol bunuh diri di menit ke-18 dan kiper Hugo LIoaris yang konyol mengoper bola, sehingga gawang Perancis kebobolan di menit 69 oleh sontekan Madzukic.
Itulah sepakbola, apa saja bisa terjadi meskipun ada di laga final. Selain dari itu, sepakbola telah banyak memberikan pelajaran bagi hidup dan kehidupan. Lihat dan perhatikanlah bagaimana mengelola emosi, mengendalikan kekerasan, mengatur strategi, membangun soliditas, berbagi peran, memanfaatkan waktu dan peluang, mengambil keputusan yang tepat dan lain-lain.
Riuh meriah di Rusia telah berakhir, para pemain akan terus berlatih untuk terus meningkatkan kemampuannya. Para penonton yang jagoannya kalah tidak perlu bersedih dan melanjutkan kenestapaannya. Kembalilah kepada kehidupan nyata, karena gelaran Piala Dunia itu sudah berakhir dan semua itu hanyalah permainan, tidak lebih dari itu.
Selamat kepada Perancis dan janganlah bersedih para pendukung Kroasia.
Tangsel, 16 Juli 2018