bidik.co — Isu reshuffle menteri kabinet Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla beberapa minggu terakhir bergulir, menyusul kinerja menteri yang dianggap tak memuaskan. Poltracking Indonesia menelusuri melalui survei dan mendapati 41,8 persen publik setuju reshuffle.
“Secara umum publik setuju bisa dilakukan perombakan di Kabinet Kerja,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha dalam paparan survei di Hotel Sofyan Betawi, Jl Cut Meutia, Jakpus, Minggu (19/4/2015).
Hanta memaparkan temuannya, yaitu 36% responden setuju dan 5,8% responden sangat setuju reshuffle. Jika disatukan maka 41,8% setuju reshuffle. Hanya ada 28 persen yang tidak setuju reshuffle. Angka ini gabungan dari kurang setuju (24,1) dan sangat tidak setuju (3,9%).
Data survei diperoleh dari 1.200 responden yang merupakan WNI yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah. Margin of error ±2,9% dengan tingkat kepercayaan 95%. Metode survei wawancara dan tatap muka pada rentang 23-31 Maret 2015. Sumber dana internal yang dihimpun untuk survei publik.
Menurut Hanta, data di atas menunjukkan bahwa masyarakat menilai Presiden Jokowi perlu melakukan pergantian menteri di kabinet kerja. Hal itu dipicu oleh ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah.
“Ketidakpuasan publik paling tinggi di bidang ekonomi (66,6%), disusul bidang hukum (55,6%) dan di bidang keamanan (50,7%),” papar Hanta.
Soal apakah menteri-menteri dalam bidang yang tingkat ketidakpuasannya tinggi tersebut yang harus direshuffle, Hanta enggan berspekulasi. Namun yang pasti menteri-menteri itu kinerjanya tidak memuaskan.
“Sebagai langkah ekstrim, bilsa diperlukan Presiden Jokowi dapat melakukan perombakan kabinet. Selain sebagai penyegaran, perombakan dilakukan untuk memperbaiki performa dan kinerja Kabinet Kerja,” ucap Hanta.
Sebelumnya survei Poltracking soal kepemimpinan PDIP, mendapata kritik dari Pelaksana Tugas (Plt) Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan partainya tak akan terlalu mempertimbangkan hasil survei Pol-Tracking, yang menyebut trah Soekarno tidak tepat untuk memimpin PDIP.
Menurut Hasto, kepemimpinan di PDIP diukur dari komitmen ideologi, kesejarahan, kerja kepartaian, serta bagaimana menjadikan PDIP sebagai alat untuk mengorganisasikan rakyat, bukan dari survei.
“Survei itu bagian dari framing dengan muatan politik. Memilih ketua umum partai atas dasar elektabilitas dan bukan pada kerja organisasi merupakan praktek demokrasi liberal,” kata Hasto Kristiyanto melalui keterangan pers, Minggu (22/3/2015).
Hasto mengatakan, PDIP hanya menjadikan survei yang obyektif sebagai tolok ukur nominasi calon kepala daerah, bukan pada praktek kepemimpinan internal partai. PDIP, kata Hasto, tetap berkeyakinan pada jalan ideologi partai dimana kepemimpinan partai diputuskan dengan cara musyawarah mufakat.
“Adanya survei-survei seperti itu sudah kami perkirakan sejak awal sebagai agenda setting untuk campur tangan politik dalam agenda internal PDIP,” ujar Hasto.
Di tengah situasi politik Indonesia seperti saat ini dan sebagai partai pemenang pemilu, Hasto mengatakan, PDIP perlu dipimpin sosok yang tangguh, kuat, berprinsip, berpendirian, dan memiliki track record positif dalam memimpin partai. Atas dasar tersebut, Rakernas IV memutuskan Megawati Soekarnoputri kembali menjabat sebagai ketua umum.
“Dari perspektif sejarah perjuangan, ideologi partai, soliditas partai, dan keberhasilan memenangkan pemilu, serta melihat tantangan partai ke depan menjadikan Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi pemimpin yang memenangkan hati seluruh anggota PDIP,” lanjut Hasto.
“Kajian-kajian, metanalisis, focus group discussion yang sudah dilakukan oleh pihak-pihak di luar PDIP semoga saja bukan sebagai pesanan pihak lain,” tambahnya. (*)