bidik.co — Pernyataan Menko Polhukam Tedjo Edhi Purdijatno yang meminta Polri agar tidak memberikan izin penyelenggaraan Munas Partai Golkar di Bali membuktikan bahwa ia tidak paham konstitusi.
Tedjo tidak mengerti bahwa kegiatan partai politik itu dijamin oleh konstitusi sebagai manifestasi dari kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat.
“Kemerdekaan parpol untuk menyelenggarakan kegiatan politik juga merupakan bagian dari hak asasi manusia,” kata Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma) Indonesia, Said Salahuddin, Rabu (26/11/2014).
Said mengingatkan, dalam peraturan perundang-undangan telah tegas dinyatakan bahwa partai politik itu adalah sarana aspirasi partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia dan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi. Jadi, kegiatan partai politik seperti halnya Munas Partai Golkar itu harus dipandang sebagai bentuk kebebasan masyarakat dalam berekspresi di bidang politik, dan tidak boleh dilarang-larang.
Menurut Said, dinamika yang terjadi di internal Partai Golkar yang sempat menimbulkan kericuhan, itu pun tidak bisa dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah untuk menghambat pelaksanaan kegiatan Munas Partai Golkar dengan cara melarang polisi mengeluarkan izin acara.
“Kalau alasannya karena dikhawatirkan akan muncul kembali kericuhan saat Munas di gelar di Bali sehingga berdampak negatif bagi pariwisata di provinsi itu, maka pemikiran Tedjo keliru,” demikian Said.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad H Wibowo, pernyataan Menko Polhukam yang meminta polisi tidak mengeluarkan izin Munas Golkar di Bali sepertinya menunjukkan ia tidak demokratis dan kurang menguasai UU.
“Itu sudah merupakan penyalahgunaan alat kekuasaan negara guna mengintervensi urusan internal parpol,” kata Drajat, Kamis (27/11/2014).
Menurut Dradjad, bila sikap Tedjo ini dibiarkan dan tidak dilawan maka ini menjadi awal dari lonceng kematian demokrasi di Indonesia.
“Ucapan-ucapan Menko itu sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Saya yakin parpol-parpol pemerintah pun tidak akan mau kalau diperlakukan demikian oleh kekuasaan,” tegas Dradjad.
Sikap menteri yang dianggap partisan karena berasal dari Partai Nasdem, partai pecahan Golkar, itu menjadikan Jokowi di bully.
“Sekarang Jokowi di bully dimana-mana yang banyak disebutkan seolah-olah presiden yang akan mengembalikan ke Orde Baru,” kata pengamat politik Ray Rangkuti kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/11/2014).
Publik, menurut Ray, menganggap Jokowi telah mengobok-obok keberadaan partai politik yang sudah diatur oleh undang-undang, dan hendak mengembalikan model kekuasaan seperti di zaman Orde Baru.
“Ini akibat dia tidak tahu dan paham tugas pokok dan fungsinya sebagai menteri dan tidak paham politik nasional,” imbuhnya.
Selain itu, menurut dia, pernyataan Tedjo juga merugikan kelompok Agung Laksono dan beberapa kader yang menolak Aburizal Bakrie.
“Sekarang karena pernyataannya itu, kelompok Agus Gumiwang dan Agung Laksono dianggap kelompoknya Jokowi dan KIH. Kira-kira kan begitu,” demikian Ray. (*)