bidik.co — Di era kemajuan teknologi saat ini, perang tak cuma bermodal rudal. Di dunia maya, gerak-gerik negara tetangga juga harus diwaspadai.
Hal ini juga yang bakal diwaspadai Menkominfo Rudiantara saat berbicara soal kedaulatan internet Indonesia kepada sejumlah media di Jakarta.
Menurutnya, sesuatu yang membahayakan kepentingan indonesia harus diwaspadai dari jauh-jauh hari. Termasuk di dunia maya, dimana ancaman negara tetangga dianggapnya bukan cuma berasal dari meriam di kapal, tapi itu masuknya lewat internet.
“Lihat berapa hacking yang sudah terjadi, berapa situs pemerintah yang di-hack.
Kalau dari saya, itu kan sesuatu yang harus kita jaga,” ujarnya.
“Kalau untuk kepentingan nasional kita harus berani, harus punya affirmative action,” ia menambahkan.
Namun Rudiantara belum bisa memaparkan lebih lanjut soal strateginya menghalau ancaman cyber ini. Apakah mau menganut gaya semi tertutup ala China atau punya racikan sendiri.
Pun demikian, ia mengingatkan bahwa yang namanya ancaman nasional itu tidak hanya dilihat dari Kominfo. Dilihat juga dari sisi pertahanan, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.
“Kita akan urus sama-sama, tapi yang pasti affirmative action itu harus ada. Ini untuk kepentingan negara,” kata Rudiantara.
Kebijakan tegas ini juga bakal diterapkannya untuk menghalau banjir situs pornografi dan konten negatif lainnya.
“Kalau untuk kepentingan nasional, lebih baik dikritik sedikit daripada kebobolan. Ini kepentingan nasional. Setuju nggak?” tutupnya.
Jauh hari, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Tifatul Sembiring, juga menegaskan bahwa Indonesia banyak menghadapi serangan di internet. Peretas (“hacker”) asal China merupakan pihak yang paling banyak menyerang dunia maya di Indonesia.
“Serangan ‘hacker’ terbanyak itu datang dari China, lalu Eropa, Amerika, Singapura, Malaysia, dan sebagainya,” kata Tifatul dalam sambutan pembukaan “Indonesia Security Conference (IdSecCons) 2013” di Unair Surabaya, Sabtu (15/6/2013).
Tifatul menjelaskan, laman milik Kominfo mengalami serangan dari para peretas hingga 39,9 juta kali selama 2012, sedangkan peretas asal Jember, Wildan, yang meretas laman Presiden SBY melakukan 5.320 kali retas dalam setahun.
“Tapi, para peretas itu bermanfaat, karena ‘gangguan’ yang dilakukan itu tidak sampai mencuri data, sehingga perbuatannya juga menunjukkan kelemahan sistem yang kita miliki agar kita bisa melakukan perbaikan. Itu berbeda dengan ‘cracker’ yang meretas untuk mencuri dan menjual hasilnya,” ungkapnya. (ai)