bidik.co — Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva meminta agar KPU menyerahkan DPT, DPK, dan DPKTb seluruh Indonesia. Selain itu, Hamdan meminta agar KPU menjelaskan cara memperoleh bukti.
“Termohon agar menyampaikan data perolehan suara sampai kecamatan. Serahkan DPK, DPKTb, dan DPT seluruh Indonesia,” kata Hamdan dalam sidang sengketa Pilpres 2014 di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (11/8/2014).
Majelis hakim juga minta KPU menjelaskan kapan dan cara memperoleh bukti tersebut. Hal itu dicantumkan dalam keterangan bukti.
“Harap dijelaskan dalam keterangan bukti. Dijelaskan cara perolehannya,” ujar Hamdan.
Sebelumnya, Komisioner KPU Ida Budiarto telah menjelaskan tentang mekanisme DPT, DPK, dan DPKTb. DPKTb adalah salah satu hal yang dipermasalahkan oleh Prabowo-Hatta.
“DPKTb adalah pemilih yang punya identitas kependudukan tapi belum terdaftar di DPT yang gunakan hak pilih dengan identitas. Sesuai ketentuan, layanan pada pemilih DPKTb dilakukan dengan ketentuan, memberikan suara pada TPS yang berada di wilayah alamat KTP dengan mendaftarkan diri memperlihatkan KTP, memberikan suara 1 jam sebelum waktu berakhir. Kalau surat suara sudah habis, DPKTb diarahkan ke TPS lain terdekat,” jelas Ida.
Ida juga menjelaskan tentang nol suara yang dipermasalahkan oleh kubu Prabowo-Hatta. Ia mengungkapkan bahwa Jokowi-JK juga ada yang mendapat nol suara.
“Pemohon sampaikan keberatan tidak memperolehkan suara di tps. Perolehan suara nol tidak hanya dialami pemohon tapi juga calon nomor urut dua di antara lain sumbar dan Papua. Fakta demikian dalam hidup masyarakat kita demokrasi berjalan sesuai kedaulatan rakyat,” paparnya.
Sementara itu saksi dari KPU Surabaya menyebut data pihak Prabowo-Hatta terkait perolehan suara di TPS di Surabaya tidak betul. Kesalahan itu bisa dilihat dari nomor TPS yang dipermasalahkan Prabowo-Hatta, padahal TPS itu sebenarnya tidak ada.
“Data pemohon terkait TPS di Surabaya tidak betul. Di Gubeng disebut TPS 95 padahal maksimal di sana TPS 82. Di Wiyung ada keberatan DPKTb di TPS 48, padahal maksimal cuma TPS 44, tidak ada TPS 48,” kata anggota KPU Surabaya, Nurul Amalia saat bersaksi di sidang sengketa Pilpres di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (11/8/2014).
Selain di kecamatan tersebut, Nurul menyebut kesalahan yang sama juga terjadi di kecamatan-kecamatan lain di Surabaya.
“Di Tanjungsari yang dipermasalahkan TPS 26, 28, 46, maksimal TPS-nya 24. Di Putargede juga, TPS 45 dan 38 padahal maksimal TPS 13,” papar Nurul.
Dia juga menjelaskan tentang adanya tuduhan penghitungan suara sebelum TPS ditutup di Kecamatan Senampir.
“Pemohon sebut ada perhitungan suara jam 11 di TPS 55 Wonokusumo Kecamatan Senampir. Pada saat itu saya ada di sana, tidak ada penghitungan,” tegasnya. (ai)