bidik.co — Chiara Natasya Tanus (15) tidak menyangka keluarganya akan menjadi korban pesawat AirAsia QZ8501, Minggu (28/12/2014) lalu. Padahal dia sempat menunggu kedatangan keluarganya di Bandara Changi, Singapura pada hari itu.
Sekarang Chiara menjadi yatim piatu. Kedua orang tuanya, Hermanto Tanus (40), Liangsih Indahju (38) ikut menjadi korban pesawat tujuan Singapura tersebut. Begitu pula dua saudaranya, Geovani Nico (17), dan Geovani Justin (9).
Kakak Hermanto Tanus, Linda Patricia Tanus menyebutkan tujuan Hermanto dan keluarganya ke Singapura untuk menjenguk Chiara dan menikmati liburan Natal. Rencananya keluarga ini akan kembali ke Indonesia pada Jumat (2/1/2015) nanti.
Chiara sendiri sekolah di Methodist Girls School (MGS). Sebelum berangkat ke Singapura, Hermanto sudah menghubungi Chiara.
“Chiara menunggu di Bandara Changi sejak Minggu pagi,” kata Linda kepada Surya Online, Senin (31/12/2014).
Selama berada di Bandara Changi, Chiara tidak mendapat informasi apapun. Chiara tetap berada di bandara setelah jadwal landing pesawat AirAsia QZ8501 berlalu.
Dia tidak mendengar informasi apapun, termasuk pesawat AirAsia yang putus komunikasi di atas perairan Pangkalan Bun. Setelah beberapa lama menunggu, Chiara kembali ke asramanya.
Chiara tetap tidak mengetahui bila keluarganya gagal sampai Singapura. Dia baru mengetahui setelah diberitahu keluarga lain bahwa orang tuanya tidak bisa ke Singapura.
“Kami tidak memberitahu soal insiden pesawat itu. Dia mengetahui sendiri dari internet dan televisi,” ucap Linda.
Linda menyebutkan, setelah pesawat AirAsia putus komunikasi, keluarga mendekati Presiden Direktur AirAsia, Sunu Widiatmoko. Keluarga mengungkapkan bahwa ada satu anak Hermanto yang masih berada di Singapura.
“Saya katakan, bila AirAsia peduli pada keluarga korban, tolong bawa Chiara pulang. Akhirnya Chiara bisa pulang,” ujar Linda.
Sementara itu, seiring proses evakuasi jenazah 162 penumpang pesawat AirAsia QZ8501, berbagai cerita pun mulai terungkap tentang para korban tragedi jatuhnya pesawat Airbus 320, di Laut Jawa pada Minggu, 28 Desember 2014.
Ada 138 penumpang dewasa, 16 anak-anak, satu bayi dan tujuh kru di dalam pesawat yang terbang dari Surabaya ke Singapura. Ada sedikitnya 15 keluarga, yang terdiri dari kakak dan adik, bahkan ayah, ibu dan berikut anak-anak mereka.
Sebagian besar penumpang adalah warga negara Indonesia, kecuali tiga orang yang berkewarganegaraan Korea Selatan, dan beberapa lainnya dari Malaysia, Inggris, Singapura, dan seorang co-pilot warga negara Prancis.
Diantara warga asing yang menjadi korban, adalah pengusaha Inggris Chi Man Choi, yang terbang ke Singapura bersama putrinya yang berusia dua tahun, Zoe, untuk merayakan Tahun Baru bersama istrinya.
Walau sebagian besar penumpang berasal dari negara yang sama, mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Hanya satu yang menyatukan mereka semua, yaitu bahwa mereka memegang tiket penerbangan bernomor QZ8501.
Ruth Natalia Puspitasari termasuk dalam daftar korban, bersama dengan tunangannya Bob Hartanto Wijaya dan orangtuanya, Marilyn dan William. Ayah Natalia, Suyanto mengatakan, tragedi terjadi sepekan sebelum putrinya genap berusia 26 tahun, pada 5 Januari 2015.
Suyanto bercerita, bagaimana putrinya menjelaskan rencananya merayakan ulang tahun, sebelum melewati gerbang keberangkatan di bandara. Bagaimana sebelum perjalanan, Natalia sempat menyampaikan kekhawatiran terkait hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370.
Sementara Louise Sidharta menanti tunangannya, Siau Alain Octavianus, di bandara Changi, Singapura, untuk melaksanakan pernikahan mereka pada 2015. Di antara para kru, kisah haru juga terungkap terkait Kapten Pilot Iriyanto.
Fotonya ditaruh pada media sosial, oleh putrinya Angela Ranastianis, disertai pesan mengharukan memohon ayahnya untuk pulang. (*)