bidik.co — Deputi Staf Kepresidenan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pemerintah tidak bisa disalahkan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Pasalnya, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) terpaksa harus menerima warisan berupa ekonomi Indonesia yang lambat.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I/2015 yang hanya tumbuh 4,7% (year on year/YoY).
“Tanpa banyak orang tahu, Pak Jokowi warisi ekonomi yang lambat,” ucapnya di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/5/2015).
Menurutnya, mengubah pertumbuhan ekonomi itu bukan pekerjaan mudah. Hal ini terbukti dengan berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah, namun lantaran anggaran pemerintah belum optimal sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi seperti yang terjadi saat ini.
“April sudah banyak program yang kita harapkan bisa angkat daya beli masyarakat. Untuk kalangan kelas bawah, sudah digelontorin uang Rp9,8 triliun di April,” imbuh dia.
Dana Rp 9,8 triliun yang akan digelontorkan untuk masyarakat kelas bawah bulan ini, diharapkan bisa segera terserap dan mampu menjadi pondasi di masyarakat agar tidak semakin jatuh akibat perlambatan ekonomi.
“Kalau tenang, masyarakat tidak gampang protes di bawah. Jadi pemerintah bisa menjalankan program tanpa kegaduhan sosio politik. Kalau kegaduhan DPR itu kan terbatas ya, tapi kalau sudah di bawah itu repot. Jadi dibangun pondasi itu supaya mereka tenang,” terangnya.
“Ke depan masih belum berhenti. Karena akan ada Rp 36 triliun untuk program keluarga sejahtera, cash, dan lainnya,” pungkas Purbaya.
Sementara itu hasil stress test Bank Indonesia (BI) atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, bisa jadi salah satu alarm yang harus menjadi perhatian.
Perlambatan ekonomi di kuartal pertama tahun ini berefek domino. Penerimaan negara terancam, utamanya dari sektor pajak. Tanpa terobosan yang serius dari otoritas fiskal maupun moneter, kondisi bisa mengancam ekonomi.
Dengan skenario, pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 5,4 persen di bawah target pemerintah 5,7 persen, target penerimaan anggaran pajak tak akan tercapai. Perkiraan I, penerimaan pajak cuma 60 persen-70 persen dari target APBN-P 2015 yang sebesar Rp 1.294,3 triliun. Artinya, penerimaan negara dari sektor pajak cuma Rp 776,58 triliun-Rp 906,01 triliun.
Di sisi lain, pemerintah tentu akan mengoptimalkan penggunaan anggaran. Hasil stress test menyebutkan dengan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, realisasi belanja negara mencapai 80 persen-90 persen.
Jika kondisi ini terjadi, defisit anggaran akan melebar menjadi 2,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di atas defisit APBNP 2015 sebesar 1,9 persen. “Kondisi ini masih aman karena di bawah batas maksimal 2,5 persen,” ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, Senin (4/5/2015). (*)