Bidik.co — Di era digital saat ini, bullying terhadap pelajar ditengarai hadir di ruang online atau yang sering disebut cyberbullying. Realitas cyberbullying di media sosial yang dialami pelajar di Indonesia, memiliki dampak yang luas dialami oleh korban.
“Cyberbullying terhadap pelajar memiliki dampak luas yang akan dialami korban, yaitu secara mental dan fisik. Secara mental, korban akan mengalami malu, bodoh, marah, tertekan, cemas, tidak mau bersosialisasi, hingga percobaan bunuh diri,” tutur pengamat pendidikan Riska Ristiana dalam Kajian Umum lewat Zoom Metting yang diselenggarakan Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Kabupaten Rembang, bertema, ‘Peran Pelajar Dalam Mengatasi Bullying Media Sosial Lewat Literasi Teknologi’, Kamis 23 Maret 2023.
Selanjutnya Riska menjelaskan, jika bullying menimpa mental pada pelajar maka akan berdampak secara fisik, korban bullying setelah mengalami kecemasan yang dapat memicu stres pada tubuh. Mereka akan mengalami sakit kepala, gangguan tidur, tidak mau makan, hingga meninggal.
“Bukan hanya memar atau terluka akibat kekerasan fisik yang dialaminya. Kondisi ini bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti lebih sering sakit, terkena gangguan pencernaan, atau masalah lainnya,” jelasnya.
Pemahaman terhadap cyberbullying sendiri berarti perundungan dunia maya, yaitu bullying dengan menggunakan teknologi digital. Unicef sendiri mendefinisikan cyberbullying sebagai intimidasi dengan penggunaan teknologi digital. Itu dapat terjadi di media sosial, platform perpesanan, platform game, dan ponsel.
“Ini adalah perilaku berulang, yang ditujukan untuk menakut-nakuti, membuat marah atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran,” tutur Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) ini.
Terkait dengan perbedaan bullying dengan cyberbullying, Riska menguraikan bahwa bullying atau traditional bullying terjadi ketika pelaku dan korban berhadap muka, sedangkan cyberbullying terjadi ketika mereka tidak berhadapan.
“Perbedaan antara traditional bullying dan cyberbullying adalah pada proses interaksi. Traditional bullying terjadi ketika pelaku dan korban berhadap muka, sedangkan cyberbullying terjadi ketika mereka tidak berhadapan,” urai Riska.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ketua Bidang Pembinaan Masyarakat Pelajar sekaligus Ketua OSIS SMP Alam Planet Nufo Kabupaten Rembang, Agha Abitha ini, diikuti oleh pelajar dari Rembang dan luar Jawa, juga diuraikan mengenai beberapa tipe cyberbullying.
“Ada beberap tipe cyberbullying, yaitu, pertama, harassment. Cyber harassment merupakan suatu tindakan yang menggambarkan bagaimana orang yang terus-menerus mengejar orang lain secara online dengan maksud untuk menakut-nakuti, mempermalukan, hingga melecehkan,” tutur Riska.
Sedangkan yang kedua, stalker. Cyber stalking merupakan tindakan penguntitan di dunia maya untuk mendapatkan informasi pribadi, meneror, bahkan melecehkan. “Ketiga, flaming. Flaming merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara daring di media sosial dan bertujuan untuk memprovokasi dan menyulut emosi suatu pihak,” jelasnya.
Untuk yang keempat, impersonate, yaitu tindakan menyamar menjadi orang lain untuk melancarkan aksi tertentu dengan mengirimkan pesan-pesan dan status tidak baik.
“Yang terakhir, outing dan trickery. Outing merupakan tindakan menyebarkan rahasia orang lain berupa foto pribadi seseorang sehingga dapat menimbulkan rasa malu dan depresi bagi korbannya. Sedangkan trickery adalah tindakan tipu daya yang dilakukan dengan cara membujuk orang lain untuk mendapatkan rahasia dari calon korban,” pungkas Riska. (aai)