bidik.co — Presiden Joko Widodo memberhentikan secara hormat Jenderal (Pol) Sutarman dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai penggantinya, jabatan Kapolri dipegang oleh pelaksana tugas Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti.
Pengumuman pemberhentian itu disampaikan Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015). Sebagai payung hukumnya, Jokowi mengeluarkan dua keputusan presiden (keppres).
“Saya menandatangani dua keppres. Pertama tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal (Pol) Drs Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang kedua tentang penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri,” kata Jokowi.
Jenderal (Pol) Sutarman yang hadir dalam konferensi pers itu menyatakan menerima dan akan melaksanakan keputusan presiden tersebut.
Sementara itu mantan Wakapolri Komjen Polisi (purn) Oegroseno pergantian pucuk pimpinan di tubuh instansi Kepolisian tersebut dinilai tidak memiliki urgensi. Musababnya, masih ada jeda sembilan bulan hingga Oktober sebelum Sutarman benar-benar habis masa jabatan, alias pensiun.
Keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan baginya. Bahkan Dia tidak bisa membayangkan seorang jenderal polisi aktif diberhentikan tanpa mendapatkan jatah jabatan pengganti.
“Jika Sutarman tidak memiliki kegiatan aktif di kepolisian selama 30 hari, itu akan menimbulkan persoalan yang mengarah pada desersi,” kata Oegroseno saat menggelar diskusi di bilangan Menteng, Jakarta, Sabtu (17/1/2015).
Menurut Oegroseno, pergantian Kapolri terkesan tergesa-gesa. Meski Jokowi memiliki hak prerogatif dalam mengambil keputusan, dia tidak melihat urgensi yang mengharuskan Sutarman buru-buru dilengserkan.
“Saya rasa kondisi keamanan negara kita baik-baik saja selama berada di bawah kepemimpinan Pak Sutarman,” ujarnya.
Oegroseno berharap Jokowi bisa segera memberikan jabatan pengganti bagi Sutarman. Sebab, kata Oegroseno, tidak mudah bagi seorang polisi bisa mendapat jabatan Jenderal. Dia berharap Sutarman bisa diberikan jabatan setingkat duta besar atau menteri.
“Mendapat bintang empat di kepolisian itu butuh perjalanan yang berliku. Saya harap nasib Sutarman ini diperhatikan presiden,” ujarnya.
Sedangkan ahli hukum tata negara Refly Harun mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR setelah menunjuk Plt Kapolri Komjen Badrodin Haiti. Hal ini karena Jenderal Sutarman diberhentikan dengan hormat secara tetap, bukan pemberhentian sementara.
Refly menuturkan bahwa pemberhentian Jenderal Sutarman sudah sejalan dengan pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang berbunyi: “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Hanya saja saat ini, calon Kapolri yang disetujui oleh DPR yaitu Komjen Budi Gunawan belum diangkat karena masih tersangkut kasus hukum.
“Ini bukan pemberhentian sementara, ini pemberhentian tetap yang diatur di pasal 11 ayat 1 dan sudah dapat persetujuan DPR. Penugasan wakapolri untuk jalankan wewenang kapolri adalah konsekuensi kosongnya kapolri,” kata Refly, Sabtu (17/1/2015).
“Persetujuan sudah didapat, untuk pengangkatannya masih belum bisa dilakukan karena Komjen Budi statusnya tersangka. Tidak ada aturan yang mengatur presiden meminta persetujuan DPR lagi,” sambungnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebelumnya berpendapat bahwa untuk mengangkat Plt Kapolri, Presiden juga harus meminta persetujuan DPR sesuai dengan pasal 11 ayat 5 Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Namun, ayat 5 hanya berlaku bila Presiden Joko Widodo memberhentikan Jenderal Sutarman secara sementara dalam keadaan mendesak.
“Pemberhentian Jenderal Sutarman tidak menyangkut ayat 5. Ini bukan keadaan mendesak dan pemberhentian sementara,” ucap Refly.
Penunjukan Plt, menurut Refly, masuk ke dalam wilayah diskresi atau tidak diatur dalam UU. Namun, Presiden Joko Widodo tetap memiliki kewenangan sebagai kepala pemerintahan untuk menunjuk Plt.
“Penunjukan Plt tidak diatur dalam UU tapi presiden memiliki kewenangan. Ini aturan mengenai pemerintahan umum. Sebagai chief executive, presiden punya hak untuk kemudian mengisi kekosongan jabatan,” jelas Refly. (*)