bidik.co — Politik adu domba atau pecah belah ternyata menjadi tread mark Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menjalankan pemerintahan saat ini. Politik adu domba tidak saja dilakukan Joko Widodo terhadap institusi negara, tapi juga dilakukan terhadap institusi partai politik yang merupakan salah satu pilar demokrasi.
“Tindakan-tindakan premanisme dipertontonkan dan dilegalkan,” ujar Jurubicara ProDem Iwan Sumule, Selasa (31/3/2015).
Ironinya, tindakan-tindakan premanisme dan pemaksaan kehendak turut dilakukan dan dipertontonkan oleh aparatur negara maupun elit politik yang seharusnya memberikan pendidikan politik kepada rakyat, tentang nilai-nilai keberadaban dan kearifan sebagai bangsa yang beradab dan bermoral.
“Nilai-nilai sebagai bangsa yang beradab dan bermoral, benar-benar telah disirnakan dan dimusnahkan di era kepemimpinan Joko Widodo ini. Apakah ini sebagai hasil perwujudan ‘Revolusi Mental’ yang didengung-dengungkan oleh Joko Widodo?” sebut Iwan Sumule bertanya.
Kebodohan-kebodohan dalam menjalankan pemerintahan, sambung dia, satu persatu tampak dan tak lagi dapat disembunyikan. Naik turunnya harga BBM menunjukan Joko Widodo tak memiliki konsep dan perencanaan dalam menjalankan pemerintahan.
Menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada mekanisme pasar, tentu tak bisa menghindarkan harga BBM yang akan naik turun sesuai harga pasar. Aturan-aturan dalam bernegara dan Undang Undang satu persatu dilanggar. Nawacita dan Trisakti pun sirnah. Hanya menjadi slogan belaka.
“Tak ada pilihan lain, jika keberlangsungan kepemimpinan Joko Widodo terus dibiarkan, bangsa dan negara ini hanya akan tinggal prasasti. Lengserkan Joko Widodo!” tukas Iwan.
Sebelumnya, kuasa hukum Partai Golkar, Yusril Ihza Mahendra, menilai Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laloly telah mengesankan pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai tukang adu domba.
Yusril mengatakan, pengesahan salah satu kubu terkait konflik Partai Golkar oleh Menteri asal PDI Perjuangan itu telah menyeret keterlibatan pemerintah dalam urusan partai politik. Kata Yusril, itu jelas mengkhianati reformasi.
“Saya menegaskan bahwa Presiden Jokowi harus segera mengevaluasi kinerja Menkumham dalam pengesahan pengurus parpol. Sudah dua kali Menkumham melakukan kesalahan dalam pengesahan tersebut,” ujar Yusril dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (12/3/2015).
Kesalahan fatal pertama Menkumham Yasonna, kata Yusril, adalah mengesahkan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan versi Munas Surabaya atau kubu Romahurmuziy.
Kini, Menteri Yasonna kembali membuat kesalahan serupa dengan mengakui kubu Agung Laksono dengan menyampaikan surat yang ke DPP Partai Golkar. Menurut Yusril, mumpung Surat Keputusan (SK) pengesahan kubu Agung belum diterbitkan, Presiden Jokowi harus segera mencegahnya.
“Cegah Yasonna bikin kesalahan fatal lagi. Yasonna telah membuat kesan pemerintah Jokowi tukang adu domba parpol demi keuntungan diri sendiri memperkuat dukungan terhadap KIH,” kata mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Kata Yusril, kesan itu tidak baik bagi pemerintah. Apalagi, kata Yusril, partai yang menjadi naungan Yasonna, PDI Perjuangan, pernah mengalami hal serupa saat 1996. Saat itu, pemerintah malah mengakui kepengurusan PDI di bawah Ketua Umum Soerjadi. Padahal yang sah adalah PDI kubu Megawati Soekarnoputri.
“Apa yang pernah dialami di masa lalu itu jangan diulangi ketika kini PDIP menjadi partai penguasa. PDIP harus berjiwa besar,” ujar Yusril.
Yusril pun menceritakan, dia adalah orang pertama yang diberi tanggungjawab oleh Presiden BJ Habibie untuk membuat draf Undang-Undang Partai Politik pada 1998.
“Ketika itu sikap saya tegas bahwa pemerintah tidak boleh campur tangan ke dalam parpol manapun,” ujar Profesor Hukum Tata Negara ini.
Pendaftaran parpol dialihkan dari Departemen Dalam Negeri (sekarang Kemendagri) ke Departemen Kehakiman (sekarang Kemenkumham). “Agar pendaftaran parpol bebas dari pertimbangan dan kepentingan politik pemerintah,” kata Yusril.
Sebaliknya, sebelumnya Indonesia Police Watch (IPW) menduga saat ini ada upaya membenturkan Joko Widodo (Jokowi) dengan Polri, Megawati, dan PDIP yang mengusungnya sebagai presiden. Sementara itu, Mensesneg dan Seskab cenderung tidak memberikan informasi kepada Presiden Jokowi.
“Jika kondisi ini dibiarkan, maka Jokowi akan terjebak dalam devide et impera (politik adu domba) di lingkaran istana,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, Rabu (18/2/2015).
Dalam kasus Budi Gunawan (BG), Neta mengatakan bahwa Presiden Jokowi jangan mau dibenturkan dengan Polri dan DPR oleh para pembisik di sekitarnya. Presiden Jokowi juga harus mempunyai integritas, taat konstitusi, dan senantiasa berpikir positif dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah, sehingga bisa segera melantik BG sebagai Kapolri.
“Jokowi sebagai pemain baru dalam dunia persilatan politik nasional memang perlu banyak belajar, mendengar, dan menyerap aspirasi banyak pihak. Tapi, Jokowi jangan mau terjebak, apalagi diombang-ambingkan oleh orang-orang yang ingin mengadudombanya,” terang dia.
Sebagai negarawan, jelas dia, Presiden Jokowi juga harus mengedepankan law and order (hukum dan kebijaksanaan), sehingga pemerintahan punya visi dan tegas dengan aturan konstitusi dan hukum. Dengan cara inilah Presiden Jokowi bisa membawa Indonesia tumbuh dengan membawa cita-cita bangsa.
“Sebaliknya, jika selalu mendapat informasi yang menyesatkan dari orang-orang sekitarnya, Jokowi tidak hanya melanggar konstitusi, tapi juga bisa diarahkan membawa kepentingan pihak lain yang sesungguhnya tidak ingin Indonesia maju,” pungkasnya. (*)