Home / Kesehatan / Ray Brown, Manusia Pertama yang Sembuh dari HIV

Ray Brown, Manusia Pertama yang Sembuh dari HIV

bidik.co — Ray Brown merupakan manusia pertama yang berhasil sembuh dari HIV setelah menerima transplantasi sel punca atau tali pusat. Namun ternyata ia malah awalnya menentang transplantasi sel punca yang justru bakal menjadi tonggak baru sejarah kesehatan.

Brown, dulu dikenal dengan nama “Pasien Berlin”, mengeluarkan sebuah tulisan tentang pengalamannya berhasil sembuh dari HIV berkat transplantasi sel punca. Dalam esainya yang dirilis dalam jurnal AIDS Research and Human Retroviruses, memberikan pandangan mendalam tentang apa yang terjadi dalam transplantasi yang dilakukannya pada 2007, seperti dilansir Yahoo Health, Minggu (11/1/2015).

Brown pertama kali didagnosis HIV pada 1995 saat dirinya kuliah di Berlin. Pada 2006, ia sangat lelah mengayuh sepeda, sampai ia harus dilarikan ke dokter, di mana ia saat itu ia didiagnosis mengidap leukimia atau kanker darah.

“Saya dan kekasih memilih berobat ke rumah sakit kampus di Berlin, dekat apartemen saya,” tulis Brown dalam artikel. Kekasihnya menelefon pihak rumah sakit dan menghubungi Dr Gero Huetter.

Dr Huetter memberikan tiga ronde kemoterapi untuk Brown. Ia juga mencari sel punca yang cocok, jaga-jaga jika Brown membutuhkannya. “Banyak pasien yang tidak punya kecocokan, sedangkan saya memiliki 267 kecocokan,” tulis Brown.

Karena banyak pilihan, Dr Huetter mencari yang mutasi sel yang spesifik, dinamakan CCR5 Delta 32, yang kemudian dikenal akan membuat seseorang akan imun terhadap infeksi HIV. Setelah 60 pendonor, akhirnya Dr Huetter menemukan mutasi yang cocok.

Awalnya, Brown menolak untuk dilakukannya transplantasi sel punca. “Saya berbicara dengan teman-teman, keluarga, dan profesor transplantasi di Dresden,” kisahnya.

“Saya menolak transplantasi, karena menurut saya itu tidak perlu, karena leukimia saya sudah hilang. Saya bisa tetap menjalani pengobatan Antiretroviral (ARV). Saya tidak mau membahayakan hidup saya dan menerima transplantasi yang mungkin akan membunuh saya. Keberhasilan hidup transplantasi sel punca tidak begitu bagus, hanya 50/50.”

Leukimia kembali lagi menyerang Brown pada 2007, dan transplantasi pun dibutuhkan demi keselamatan jiwanya. Ia menghentikan pengobatan ARV, dan setelah tiga bulan, hasil tes darah membuktikan bahwa ia tidak lagi mengidap HIV.

“Saya berangsur pulih. Saya bisa kembali bekerja dan berolahraga,” ungkap Brown. Butuh waktu lama sampai keluar hasil dari transplantasi sel punca, namun ia tetap dinyatakan bebas HIV.

Pada 2013, para peneliti ingin meniru hasil pada kasus Brown pada seorang bayi di Minnesota, Amerika Serikat. Anak laki-laki yang dikenal sebagai “Pasien 2″ menerima transplantasi tali pusat dengan mutasi sama dari pendonor Brown. Pada Juli 2014, ilmuwan menemukan peningkatan HIV dalam darah si bayi, sehingga saat ini masih dikembangkan pengobatan yang efektif.

Kini, 20 tahun setelah didiagnoisis mengidap HIV, Brown mendedikasikan hidupnya untuk penelitian. Ia mendirikan Timothy Ray Foundation, yang merupakan bagian dari World AIDS Institute pada 2012, dan ia terus bekerja bersama ilmuwan untuk meneliti HIV.

Brown mengatakan,” Saya tidak akan berhenti sampai HIV bisa disembuhkan!”

Deteksi dini dan pemberian obat antiretroviral terbukti mampu menyembuhkan pengidap HIV/AIDS. Temuan di sejumlah negara ini memberi harapan diakhirinya pandemi HIV/AIDS.

Ketua Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo Prof Zubairi Djoerban di Jakarta, Jumat (3/8/2014), saat menyampaikan hasil Konferensi AIDS Internasional Ke-19/2012, mengatakan, penelitian menunjukkan tiga pengidap HIV disertai leukimia akut dan gangguan limfoma bisa sembuh total. Virusnya tak terdeteksi lagi.

Adapun 14 pengidap HIV lain sembuh fungsional, yaitu virusnya tetap ada, tetapi tidak berkembang. Mereka langsung minum antiretroviral (ARV) selama tiga tahun begitu didiagnosis positif HIV. Kini, meski tujuh tahun tanpa obat, mereka tetap sehat.

”Di Indonesia, penggunaan ARV selama tiga tahun sulit menyembuhkan karena infeksi HIV diketahui dalam fase lanjut,” katanya.

Untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayi, ibu hamil dengan HIV wajib minum ARV. Hasilnya, tak ada bayi lahir tertular HIV dari ibunya di Distrik Columbia, AS, sejak 2009.

Penggunaan ARV terbukti mampu menekan infeksi baru HIV. Sejumlah negara, seperti Malaysia dan Thailand, mewajibkan semua ibu hamil mengikuti tes HIV. Jika terdeteksi, mereka langsung diberi ARV.

”Tes HIV bagi semua ibu hamil sulit dilakukan di Indonesia karena pengidap HIV masih didiskriminasi. Padahal, HIV bisa menular kepada siapa saja dan di mana saja,” kata dokter dari RS Kramat 128 Jakarta, Dyah Agustina Waluyo, yang juga hadir dalam konferensi.

Kondisi HIV di Indonesia berkebalikan dengan kondisi global. Saat pertumbuhan kasus baru HIV di sejumlah negara menurun, di Indonesia malah naik.

Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sampai Maret 2012 memperkirakan, 6,58 juta orang di Indonesia rawan tertular HIV pada 2009. Jumlah tertinggi berasal dari pria pelanggan pekerja seks (3,17 juta orang) dan istri mereka (1,94 juta orang). Namun, yang terdata hingga Maret 2012 baru 82.870 kasus HIV dan 30.430 kasus AIDS. Dari jumlah itu, hanya 25.817 orang yang dapat ARV.

Hal ini menunjukkan tingginya kesenjangan jumlah penduduk yang rentan tertular HIV dan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS serta mendapat terapi ARV. Deteksi dini sulit dilakukan karena tingginya diskriminasi terhadap pengidap HIV.

Dyah menambahkan, penanganan HIV di Indonesia belum terintegrasi. Di negara lain, tempat tes HIV terintegrasi dengan pusat layanan kesehatan sehingga pengidap bisa langsung ditangani. (*)

Komentar

Komentar

Check Also

Difriadi: Pilkada Harus Jadi Persemaian Demokrasi di Indonesia

Bidik.co — Bulan November 2024, rakyat Indonesia masih harus memenuhi hak dan kewajiban politiknya untuk …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.