bidik.co — Terlalu percaya, membuat Presiden Jokowi tidak sadar para pembantunya di Kabinet Kerja tidak becus dalam mengemban tugas. Melonjaknya harga beras telah membuktikannya. Padahal, siapa saja presiden yang tidak bisa mengendalikan harga beras, akan bisa jatuh.
Ekonom senior Dr. Rizal Ramli mengatakan, sekarang pilihannya hanya ada satu, yaitu reshuffle kabinet. Khusunya untuk pos-pos bidang ekonomi.
“Kita semua dalam posisi mendukung kepemimpinan Jokowi. Makanya kita harus mengingatkan dia, supaya program Trisaksi dan Nawacita bisa direalisasi,” ujar Rizal Ramli saat bersilaturahmi dengan Relawan Jokowi di Jakarta, Selasa (24/3/2015) malam.
Menurut Komisaris Utama BNI 46 ini, aksi-aksi di berbagai kota yang belakangan ini semakin marak mengkritisi pemerintah, diharapkan bisa mengingatkan Presiden Jokowi bahwa ada sesuatu yang terjadi tanpa campur tangan dirinya sebagai kepala negara. Setidaknya, informasi yang masuk malah ngawur.
Bukti valid situasi yang tidak disadari Presiden Jokowi adalah kenaikan harga beras. Hingga akhirnya Bulog mengadakan operasi pasar besar-besaran, sebelumnya harga beras telah naik Rp 500 per minggu selama 10 minggu.
Bandar beras di Cipinang yang mempunyai jatah alokasi beras Bulog, hanya mengedarkan beras kepada kelompoknya saja, sehingga dengan mudah mengatur harga beras. Selama 10 minggu, mereka menaikkan harga beras Rp 500 per minggu, sehingga harga beras langsung melonjak.
“Dulu waktu saya menjadi Kepala Bulog, saya memantau harga beras tiga kali dalam sehari. Kami membuat software untuk mengingatkan harga beras. Naik Rp 50 lampu kuning, naik Rp 100 lampu merah, dan saya langsung mengambil tindakan. Jangan main-main soal beras, siapa saja presiden bisa jatuh kalau harga beras tidak terkendali,” sebut Rizal Ramli mengingatkan.
Dalam kondisi begini, sambung Menko Perekonomian era Gus Dur ini, pilihan tunggal Jokowi adalah melakukan reshuffle kabinet.
“Kemampuan menteri terkait sudah mentok, tak cukup lagi dengan imbauan. Kemampuannya memang hanya sampai di situ, tak bisa diharapkan lebih banyak. Maklum saja, menteri kelas Kw 3 ‘kualitas 3’,” ujarnya.
Mengenai antisipasi atas realitas politik terkini, Rizal Ramli berpendapat, PDI Perjuangan harus tetap menjadi basis utama Presiden Jokowi. “Saya lama bergaul dengan Megawati Soekarnoputri, dia itu pegang janji, pegang omongan dan tidak mudah berubah,” tandasnya.
Sebelumnya Rizal juga mengkritik menteri-menteri ekonomi di kabinet Presiden Joko Widodo yang dianggapnya tidak memiliki kebijakan jelas untuk meredam laju pelemahan rupiah, dan justru kerap melontarkan pernyataan yang tidak relevan.
Mantan menteri perekonomian itu menilai tergerusnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah sekarang, namun kinerja para menteri tidak membantu keadaan.
“Jokowi memang kurang beruntung. Warisan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) yaitu Quattro Deficit — defisit perdagangan, neraca berjalan, neraca pembayaran, dan defisit anggaran — masih akan terus menekan rupiah,” kata Rizal dalam pesan tertulis, Jumat (13/3/2015).
“Kurs Rp 13.250 per dolar masih akan tertekan karena dolar AS yang terus menguat, kewajiban utang yang semakin besar, dan tidak adanya kebijakan jelas dan agresif untuk membuat surplus perdagangan dan neraca berjalan,” tambahnya.
Yang ada, menurut Rizal, adalah statemen-statemen asal bunyi (asbun) seperti “kalau rupiah melemah Rp 100 per dolar, negara untung Rp 2,3 triliun”, tanpa menyebutkan bahwa beban pembayaran utang akan semakin besar.
Juga “kecilnya kiriman TKI membuat Rupiah rapuh” atau “ekspor akan meningkat jika rupiah terus melemah” tanpa menjelaskan bahwa sebagian besar ekspor manufaktur Indonesia sangat padat impor komponen sehingga dampak pelemahan rupiah juga kecil, kritiknya.
Sementara itu, ekspor komoditas masih terkendala permintaan dunia yg melemah.
Anjloknya rupiah ini adalah sebuah wake up call untuk pemerintahan Jokowi, dan presiden tidak bisa hanya terus bicara soal-soal mikro seperti infrastruktur, proyek dan lain-lain, tapi juga harus canggih dalam merumuskan kebijakan dan berbicara tentang ekonomi makro, papar menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid ini.
“Perlu disadari bahwa defisit transaksi berjalan, sebagian besar dibiayai oleh aliran hot money atau speculative inflows. Itulah yang menyebabkan mengapa Bank Indonesia sangat hati-hati. Penurunan bunga beberapa waktu lalu oleh BI 0,25% cukup untuk menunjukkan bahwa BI tidak super monetarist. Karena Penurunan tingkat bunga sangat besar akan membuat rupiah anjlok mendekati Rp 14.000 per dolar,” pungkasnya. (*)