bidik.co — Mantan Menko Perekonomian Dr. Rizal Ramli terkejut popularitas Presiden Joko Widodo anjlok jauh lebih cepat dari yang diprediksi sebelumnya.
“Tadinya, saya memperkirakan popularitas Jokowi akan mulai turun setelah setahun memerintah. Namun ternyata prediksinya itu keliru. Baru tiga bulan sudah turun, ekonomi pun merosot,” kata Rizal dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Rabu (4/2/2015).
Menurut Rizal, popularitas Jokowi turun drastis karena membuat banyak kebijakan yang menyusahkan rakyat kelas menengah ke bawah di awal-awal pemerintahannya. Misalnya, Jokowi menaikkan harga premium di saat harga minyak dunia yang justru turun.
“Kita tahu, premium dikonsumsi sebagian besar rakyat kelas bawah. Sopir angkutan umum, nelayan, pesepeda motor, dan lainnya. Pada saat yang sama, pertamax dan pertamax plus tidak naik harganya,” papar ekonom senior ini.
Rizal menambahkan, kebijakan Jokowi lainnya yang justru menyengsarakan rakyat adalah menaikkan harga LPG tabung 3kg, tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan tarif kereta api kelas ekonomi hingga 400 persen.
“Semua itu sangat bertentangan dengan jargon Trisakti yang diusung sewaktu kampanye Pilpres. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat kental bernuansa neolib dan menyakitkan rakyat,” kata Rizal.
Ternyata kata Rizal, Trisakti ditinggalkan dan hanya jadi jualan kampanye, sudah tampak sejak awal. Ini sudah tampak sejak kabinetnya dinamai dengan Kabinet Kerja.
“Kalau hanya kerja, zaman penjajah Belanda dan Jepang juga digenjot kerja, kerja, kerja. Tapi yang diuntungkan bukan rakyat Indonesia. Blunder Jokowi makin menjadi ketika kabinetnya diisi banyak para penganjur neolib dan berkualitas KW3. Para menterinya hanya bisa menaikkan harga,” demikian Rizal.
Sebelumnya, survei yang dilakukan Puspol Indonesia selama 6-16 Januari 2015, popularitas Jokowi turun. Survei dengan responden 756 warga Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat itu menyatakan 74,60% responden tidak puas dengan gaya kepemimpinan Jokowi-JK. Selain itu, 56% respondens tidak yakin pemerintahan Jokowi-JK mampu menguatkan nilai tukar rupiah.
‘’51% responden mulai tidak percaya dengan pemerintahan Jokowi- JK. Program pendidikan, program kartu-kartu, kebijakan ekonomi dan kebijakan energi dalam hal ini terkait BBM dinilai negatif oleh responden. Hanya program maritim saja yang mendapatkan respon positif, yaitu mendapatkan dukungan 45 persen responden,’’papar Tarmiji.
Alasan konsentrasi riset dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dengan mempertimbangkan heterogenitas wilayah dan penduduknya, dan mata pencaharian penduduk tiga provinsi tersebut.
Margin of error survei tersebut 3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Gaya berpakaian Presiden Joko Widodo ternyata tidak begitu berkesan di mata publik. Publik, hanya memberikan nilai 5,8 (skala 1 – 10) untuk gaya berpakaian baju putih, dikeluarkan dan lengan panjang digulung tanggung tersebut. Direktur Penelitian Sosial Politik Puspol Indonesia Ahmad Tarmiji memaparkan hasil survei Puspol bertema ‘Evaluasi Triwulan Rezim Jokowi-JK’di Bakoel Koffie Cikini, Rabu (21/1/2015).
“Jadi publik tidak begitu mengapresiasi gaya berpakaian Jokowi yang tidak rapih, walaupun mencoba merakyat dan mengesankan pekerja keras. Publik hanya memberi nilai 5,8 untuk gaya berpakaian. Gaya berkomunikasi Jokowi justru mendapatkan nilai lebih rendah, yaitu hanya 5,76,” kata Tarmiji.
Menurut dia, Jokowi berkesan ingin menyampaikan segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang Presiden dia memang tampak pede, walaupun pada kenyataannya gaya berbicaranya tidak lancar, sering terputus untuk berpikir beberapa detik. Sehingga berbeda dengan gaya Presiden SBY, yang runut, sistematis dan intelek.
Dengan kondisi yang demikian kurang menguntungkan Jokowi sebagai presiden, Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedillah Badrun menilai Presiden Jokowi butuh seorang juru bicara. Dengan demikian, informasi dapat disampaikan dengan lugas, sistematis dan tidak terbata-bata. Sebagai perbandingan Presiden SBY yang mempunyai gaya bicara lebih baik dibandingkan Jokowi saja, masih menunjuk juru bicara.
Mengenai gaya berpakaian Jokowi, Ubedillah menilai kemeja putih lengan panjang dan dikeluarkan yang biasanya dikenakan Jokowi tak sesuai dengan kultur Indonesia. “Kalau nilainya 5,8 itu ya hanya C. Kalaupun diluluskan pas-pasan sekali.
Mengenai gaya berpakaian Petani saja enggak pakai baju putih. Mungkin buruh banyak, tapi mereka rapi dalam arti bajunya dimasukkan. Bila tidak rapi malah mendapatkan teguran. Kerapihan itu selain ngajeni diri sendiri juga menunjukkan disiplin dan kepantasan,” ujar Ubedillah. (*)