bidik.co – Dewan Perwakilan Daerah (DPR) telah mengetuk palu UU Pilkada lewat DPRD, Jumat (26/9/2014) dini hari. Presiden SBY yang tengah berada di Amerika Serikat (AS) kala itu, kecewa bukan main atas keputusan tersebut. Terlebih setelah diwarnai aksi walk out oleh Fraksi Partai Demokrat (FPD) sebelum dilakukannya voting.
Atas kekecewaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ditantang untuk mengeluarkan dekrit yang membatalkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Undang-Undang tersebut memuat poin bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“SBY berani enggak keluarkan dekrit presiden untuk kembali pada undang-undang sebelumnya dan membatalkan Undang-Undang Pilkada. Keluarkan saja dekrit, kita pengen tahu, berani enggak,” ucap mantan koordinator Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Chalid Muhammad, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (29/9/2014).
Chalid menggelar jumpa pers atas nama Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia bersama dengan Ray Rangkuti, Romo Benny Susatyo, Sri Palupi, Yati Andrianti, dan Arif Susanto.
Menurut Chalid, jika serius mendukung pilkada langsung, SBY harus menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit yang membatalkan UU Pilkada. Langkah ini dianggapnya perlu mengingat begitu besar penolakan masyarakat terhadap UU tersebut.
“Maka, UU itu harus dikembalikan pada yang sebelumnya dan dianulir. Itu saja. Itu konstitusional. Itu bukti keseriusan,” sambung Chalid.
Mantan pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin ini meragukan pernyataan SBY yang berjanji akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Menurutnya, rencana SBY untuk menggugat UU Pilkada tidak masuk akal meskipun selaku warga negara SBY bisa melakukan hal tersebut.
Chalid menilai, SBY seharusnya tidak perlu menggugat UU Pilkada karena dia sesungguhnya memiliki kekuatan untuk memperjuangkan pilkada secara langsung saat UU tersebut belum disahkan.
Selaku presiden, menurut dia, SBY bisa mencabut usulan pemerintah yang mulanya meminta pilkada dilakukan melalui DPRD.
“Inisiatif datang dari pemerintah di mana dia, presiden, dibawa ke parlemen, seharusnya RUU (rancangan undang-undang) itu enggak lolos, artinya pilkada langsung terus dilakukan,” kata Chalid.
Di samping itu, menurut dia, SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat sedianya bisa memerintahkan anggota Fraksi Demokrat di DPR agar memperjuangkan pilkada langsung.
Namun, kenyataannya, anggota Fraksi Demokrat walkout dalam rapat paripurna pembahasan RUU Pilkada dengan dalih bahwa opsi ketiganya, yakni pilkada langsung dengan 10 syarat, tak diakomodasi secara penuh dalam draf RUU itu.
“Sebagai ketum (ketua umum), dia (SBY) punya power untuk katakan fight all out (berjuang sekuat tenaga) untuk memperjuangkan pemilihan langsung, (tapi) dia tidak gunakan power itu, kemudian sekarang mau menggunakan power lemah sebagai rakyat untuk menggugat, ini logikanya di mana?” ucap Chalid.
Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia menilai sikap SBY ini hanya sandiwara. Menurut mereka, SBY adalah dalang di balik walkout-nya para anggota Fraksi Demokrat. SBY, menurut mereka, sejak awal menginginkan pilkada melalui DPRD.
Sementara itu pakar hukum tata negara, Refly Harun menilai, bukan tidak mungkin informasi yang sampai ke telinga SBY kurang menyeluruh dan tidak benar. Maka dia pun mendorong berbagai pihak untuk mencari kebenaran fakta yang terjadi di balik aksi Partai Demokrat yang dinilai melukai banyak pihak.
“Kalau ditemukan fakta rapat paripurna itu melanggar katakanlah keadaban politik nasional, melanggar moralitas konstitusi nasional yaitu sengaja didesain sengaja melibatkan aktor-aktor politik tertentu ada money politic-nya untuk kemudian mengelabui presiden, tidak memberikan informasi yang benar kepada presiden,” ujar Refly kepada wartawan di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (28/9/2014).
“Maka kemudian saya mengatakan bahwa dengan dasar seperti presiden tetap dapat menyatakan tidak setuju asal fakta itu kuat,” imbuhnya.
Menurut Refly, persetujuan presiden memiliki porsi setara dengan dewan legislatif. Sehingga, bila ada fakta yang kuat untuk mendukung keputusan penolakan Presiden SBY, bukan tidak mungkin UU ini bisa dipertimbangkan ulang.
“Apakah ada ketepatan informasi kepada presiden. Kalau memang dibuktikan adanya peneapatan, ada politik uang di sana kemudian ada upaya untuk melokalisir perdebatan ini maka saya katakan SBY cukup bilang tidak setuju. Perkara diterima atau tidak, biarlah MK yang menilai apakah RUU Pilkada bisa disetujui atau tidak,” jelas Refly.
Dengan dibawanya gugatan UU Pilkada ini ke ranah hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK), dia memperkirakan ada 2 hal yang diperdebatkan nantinya.
“Nanti akan ada 2 perdebatan, yakni tentang sengketa kewenangan instutisional antara presiden dan DPR lalu kemudian ada judicial review yang mempermasalahkan substansi,” terangnya.
“Jadi kalau memang presiden tidak diberikan informasi yang benar, maka untuk sementara dengan menyampaikan menolak UU Pilkada tidak langsung bisa saja. Karena UUD menyatakan persetujuan itu antara presiden dan DPR itu 50:50. Nah (coba kita semua) cari informasi, jangan-jangan dibohongi SBY-nya,” sambungnya.
Seperti diketahui, RUU Pilkada dengan model pemilihan melalui DPRD disahkan dalam forum rapat paripurna, Jumat (26/9/2014), melalui voting yang dimenangkan oleh Koalisi Merah Putih.
Sebelum voting dilakukan, Demokrat melakukan aksi walkout dengan dalih bahwa opsi ketiganya, yakni pilkada langsung dengan 10 syarat, tak diakomodasi secara penuh dalam draf RUU itu.
Menanggapi disahkannya RUU ini, Presiden SBY mengaku kecewa dengan proses politik di DPR yang tidak memfasilitasi syarat Fraksi Demokrat untuk RUU Pilkada yang baru disahkan. Ia pun menyebut akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. SBY juga mengaku tidak tahu mengenai rencana walkout kader Demokrat. (ai)