bidik.co — Koalisi Merah Putih (KMP) beralasan kalau Pilkada tak langsung sesuai dengan Pancasila yakni sila ke-4 yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kata permusyawaratan perwakilan ini yang dimaknakan suara rakyat yang diwakilkan.
Dalam pemilihan kepala daerah di RUU Pilkada, suara rakyat diwakilkan dengan DPRD.
Menurut Ahli Hukum Tata Negara Unpad, Susi Dwi Haryani, hal itu hanya sebagai alasan saja.
“Itu hanya alasan saja,” kata Susi, Senin (29/9/2014).
Menurut Susi, apa yang disampaikan Koalisi Merah Putih mulai dari Pilkada tak langsung paling sesuai dengan Pancasila, hingga paling hemat uang hanya alasan yang dibuat-buat saja.
Susi memberi contoh, permusyawaratan perwakilan ini juga pada ujung-ujungnya akan dilakukan voting, seperti pada pengesahan RUU Pilkada lalu. Misalnya voting saja sudah bukan bermusyawarah.
Jadi penafsiran sila ke-4 dari Pancasila itu jangan diartikan secara sempit. Dan nantinya bila UU Pilkada diberlakukan, toh kepala daerah akan dipilih lewat voting DPRD, bukan musyawarah.
“Kalau disebut permusyawaratan apa artinya tidak boleh voting, karena setiap keputusan harus dengan musyawarah yang diwakili? Tidak seperti itu,” urai dia.
Dalam aturan ketatanegaraan tidak seperti itu. Malah justru hak rakyat yang paling diutamakan. Jangan justru pemilihan kepala daerah oleh DPRD membuat Indonesia mundur ke belakang seperti era orde baru.
“Kita ingin orang-orang berkualitas yang terpilih. Bila lewat DPRD, pressure rakyat, keterlibatan rakyat amat kurang,” urainya.
Dalam pemilihan oleh DPRD, hak rakyat menyalurkan aspirasi justru dikekang. Di era reformasi, masyarakat justru harus dilibatkan penuh. Soal biaya mahal Pilkada dan suburnya money politics, menurut Susi semua bagian dari proses belajar. Bila itu terjadi, yang diperbaiki seharusnya mekanismenya bagaimana agar tak subur money politics, bukan malah mengubah UUD.
“Ini yang kita sayangkan di akhir periode, DPR melakukan perubahan yang fundamental. Ini tidak pantas secara etika politik, DPR meninggalkan bom waktu,” pungkasnya.
Sementara itu Putra Presiden Sukarno, Guruh Sukarno Putra, justru menyatakan tidak sepakat dengan sistem pemilu langsung yang diterapkan sejak 2004.
“Sistem pemilu langsung sama saja mengingkari sila keempat Pancasila yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,” kata Guruh dalam acara Musyawarah Relawan Nasional di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Kamis (21/8/2014).
Sila keempat tersebut, Guruh menjelaskan, mengandung makna yang paling hakiki dari demokrasi ala Indonesia. Artinya, sistem demokrasi yang paling pas dengan jati diri bangsa Indonesia ialah musyawarah untuk mencapai mufakat.
Lebih lanjut, Guruh menyatakan makna sila keempat itu bila diterjemahkan langsung dalam kehidupan demokrasi ialah menjunjung tinggi keterwakilan sebagai cara untuk memilih pemimpin negeri.
“Namun tentu saja keterwakilan yang didasarkan atas rasa kebijaksanaan yang ada dalam diri wakil-wakil rakyat,” ujarnya.
Karena itu, Guruh tak heran bahwa ada masalah setelah pemilu langsung diterapkan. Kata Guruh, sistem noken yang diterapkan di Papua sebenarnya mewakili prinsip sila keempat Pancasila. Namun sistem noken itu akhirnya digugat di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa hasil pemilu presiden. (ai)