bidik.co — Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember 2004 disebutkan pemerintah bertanggung jawab atas harga BBM bagi golongan masyarakat tertentu. MK menolak penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar.
MK membatalkan UU Nomor 22/2001 Pasal 28 ayat 2 tentang Minyak dan gas Bumi (Migas). Pada intinya, aturan ini melarang penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar. Sebab, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33.
“Dengan menyerahkan harga BBM mengikuti pasar berarti Presiden Jokowi telah melangar UU Migas dan Keputusan MK,” sebut Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman dalam keterangannya, Selasa (6/1/2015).
Kata Jajat, seharusnya Presiden Jokowi sadar, bahwa harga BBM tidak boleh dilempar ke pasar, sesuai amanah UU Migas. Dengan melempar harga BBM ke pasar, Jokowi telah melanggar UU Migas.
“Ini menambah deretan UU yang telah dilanggar oleh Jokowi selama menjabat jadi Presiden, seperti UU APBN,” ujar dia.
Jajat menambahkan, adalah hal yang wajar jika saat ini banyak pihak yang meragukan berbagai kebijakan yang dikeluarkan Jokowi. Pasalnya, dalam setiap pengambilan kebijakannya Jokowi terkesan meremehkan berbagai aturan yang berlaku, hal ini dapat dilihat dari sikap Jokowi yang melangar menabrak aturan seenaknya.
“Adanya wacana dari DPR (MPR) yang akan menggunakan haknya kepada pemerintah merupakan langkah tepat. Pasalnya, masyarakat saat ini hanya bisa berharap pada DPR, apakah akan mendukung kebijakan yang jelas-jelas telah melanggar aturan atau malah akan mendukung. MPR bisa saja melengserkan Presiden Jokowi tahun ini, ” tandas dia. [rus]
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menyatakan harga jual bahan bakar jenis Premium (RON 88) akan mengikuti harga jual minyak mentah dunia dan nilai tukar dolar Amerika Serikat.
“Harga Premium akan berlaku harga keekonomian dan sama seperti halnya Pertamax, akan berfluktuasi,” ujarnya, Minggu (4/1/2015).
Dengan menggunakan formula harga tersebut, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi untuk harga jual Premium. Melalui kebijakan ini, masyarakat nantinya akan terbiasa dengan harga keekonomian atau harga pasar.
Namun, meski menggunakan patokan harga minyak dunia dan nilai tukar, pemerintah tak akan melepaskan 100 persen kepada mekanisme pasar. Pemerintah, kata Sudirman, masih akan menentukan harga patokan Premium.
Patokan harga jual, Sudirman melanjutkan, diperlukan untuk menjaga kepentingan masyarakat. Tujuan lainnya adalah meyakinkan postur dan pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lebih sehat dan produktif.
Selama masa transisi, pemerintah menetapkan harga patokan awal. Minyak tanah ditetapkan seharga Rp 2.500 per liter, solar Rp 7.250 per liter, dan Premium Rp 7.600 per liter. Harga ini ditetapkan dengan asumsi harga minyak dunia US$ 60 per barel dan kurs Rp 12.300 per dolar AS.
Harga dasar akan ditetapkan pemerintah setiap bulan. Perhitungannya menggunakan rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar rupiah dengan kurs beli Bank Indonesia tanggal 25 dua bulan sebelumnya hingga tanggal 24 satu bulan sebelumnya. Misalnya penentuan harga dasar pada Januari memakai kurs 25 November-24 Desember.
Adapun untuk bahan bakar jenis minyak tanah dan solar, pemerintah akan tetap memberikan subsidi. Harga minyak tanah akan dipatok di level Rp 2.500 per liter. Sedangkan harga solar akan diberi subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter.
Menanggapi hal itu, pengamat energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakmanto, menyarankan agar pemerintah tak melepaskan harga jual bahan bakar kepada mekanisme pasar. “Harus ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, jangan terpengaruh oleh harga keekonomian. Sebab, jika harga minyak dunia melonjak dan harga jual bahan bakar menyentuh Rp 15 ribu per liter, pemerintah bisa menetapkan sendiri harga jual. “Bisa saja pemerintah menetapkan jadi Rp 10 ribu.”
Ihwal penghapusan subsidi Premium, menurut dia, bisa dilakukan pemerintah secara bertahap. Waktu dua tahun yang diberikan pemerintah kepada PT Pertamina untuk memperbaiki dan membangun dinilai wajar. Rentang waktu tersebut bisa digunakan pemerintah untuk menghapus subsidi sambil menunggu Pertamina memproduksi bahan bakar dengan RON di atas 88.
Direktur Eksekutif Institute for the Development of Economics and Finance Ahmad Erani Yustika mengingatkan pemerintah soal kebijakan penghapusan subsidi Premium. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, harga jual bahan bakar minyak tidak melewati harga pasar atau harga keekonomian. Jadi, berapa pun subsidi harus diberikan oleh pemerintah. “Kalau mau, ya, revisi undang-undang biar tidak ada lagi subsidi,” ujarnya kemarin. (*)