bidik.co — Ketua Umum DPP PPP versi Muktamar VIII PPP di Jakarta, Djan Faridz, berjanji akan mewakafkan waktu dan hartanya untuk partai dan tidak akan menerima jabatan publik selama memimpin partai belambang ka’bah itu.
“Saya akan mewakafkan waktu dan harta saya untuk partai. Saya tidak akan terima jabatan publik. Ditawari jadi menteri pasti tidak saya terima,” ujar Faridz, dalam pidato perdananya, sebagai ketua umum DPP PPP di arena Muktamar VIII PPP di Jakarta, Minggu dini hari.
Dia juga mengajak seluruh kader PPP tidak berubah arah untuk bisa bangkit bersama-sama melawan pihak yang berusaha mencabik-cabik PPP. “Kita akan berjuang. Tapi perjuangan di DPP tidak mungkin berhasil tanpa bantuan saudara-saudara saya di DPW dan DPC. Tolong jangan berubah arah,” ujar Faridz.
Dia lalu menyatakan akan membawa PPP tetap di Koalisi Merah Putih. Menurut dia, dengan terus bersama Koalisi Merah Putih, ada celah bagi PPP untuk memimpin daerah melalui UU Pilkada. “Ada 1.100 jabatan daerah yang terbuka untuk kita. Saya mengimpikan ketua DPC PPP menjadi bupati atau gubernur,” kata dia.
Seperti dilansir Antara, Faridz ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PPP periode 2014-2019 melalui aklamasi dalam Muktamar VIII PPP di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Minggu dini hari.
“Dengan ini dinyatakan Djan Faridz sebagai calon tunggal, dan ditetapkan sebagai ketua umum terpilih periode 2014-2019, pada Muktamar VIII PPP, 30 Oktober sampai 2 November,” kata pimpinan sidang, Ahmad Gozali, di lokasi muktamar, Minggu dini hari.
Pernyataan Gozali didukung mayoritas DPW dan DPC yang hadir. Spanduk ucapan selamat terhadap Faridz tiba-tiba dibentangkan di depan arena muktamar.
Meski memang, sebelumnya terdapat sejumlah nama yang maju sebagai ketua umum PPP dalam muktamar ini antara lain Faridz, Ahmad Yani, Ahmad Muqowan, dan Dimyati Natakusumah. Yani langsung meninggalkan ruangan pasca penetapan Faridz sebagai ketua umum. Sedangkan pendukung Yani di arena muktamar tampak kecewa. [zul]
Sementara itu, politikus PPP Ahmad Yani menilai, penetapan Djan Faridz sebagai ketua umum PPP dalam Muktamar VIII yang digelar Suryadharma Ali (SDA) dinilai cacat hukum dan cacat prosedural.
Menurutnya, dalam AD/ART pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa seluruh persidangan muktamar dipimpin pengurus harian. Faktanya, sidang penetapan Djan Faridz dipimpin oleh Habil Marati yang bukan pengurus harian.
“Habil Marati itu hanya Ketua Lembaga Kewirausahaan bukan Pengurush Harian,” kata Yani kepada wartawan, Minggu (2/11/2014).
Yani mengungkapkan, Habil Marati memang pernah ditunjuk sebagai pengurus harian versi reshufle SDA. Namun, hal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Partai. SDA menurut dia, menerima putusan Mahkamah Partai, yang juga membatalkan reshuflle. Artinya, Habil Marati bukan PH dan itu tidak sah memimpin sidang.
Cacat hukum yang kedua, ujarnya, yakni peserta yang hadir saat penetapan Djan Faridz tidak diverifikasi, sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka peserta asli atau peserta liar. Karena itulah, Yani memastikan penetapan Djan Faridz tidak kuorum.
“Semuanya boleh masuk, bahkan banyak peserta liar yang hadir di ruangan,” tutur mantan anggota Komisi III DPR ini.
Penetapan Djan Faridz berdasarkan aspirasi regional bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena suara-suara DPC diabaikan. Menurut dia, penetapan secara aklamasi bisa dilakukan apabila tidak ada calon lain.
“Faktanya banyak DPC mendukung saya, tapi diabaikan. Muktamar Jakarta ini kualitas dan produknya sangat jauh di bawah Muktamar Surabaya. Muktamar Jakarta sangat-sangat buruk sekali,” tandasnya.(*)